Peraturan perkawinan campuran sebelum berlakunya Undang-undang No. 1 tahun 1974 diatur dalam ketentuan Gemengde Huwelijk Regeling (GHR). Perkawinan campuran terjadi antara mereka yang tunduk pada hukum yang berlainan. Bentuk-bentuk perkawinan campuran pada saat berlakunya GHR adalah perkawinan antar tempat, perkawinan antar regio, perkawinan antar golongan, perkawinan iternasional dan perkawinan antar agama. Perkawinan campuran dipengaruhi oleh pluralisme dibidang hukum perkawinan serta masyarakat Indonesia yang terbagi dalam beberapa golongan. Unifikasi dibidang hukum perkawinan dilakukan dengan upaya pemerintah mengeluarkan UU No. 1 Tahun 1974 meskipun juga tidak berhasil mengakhiri pluralisme hukum perkawinan. Dengan diundangkannya UU No. 1 tahun 1974 maka segala bentuk perkawinan campuran di atas telah terhapus kecuali perkawinan antar warga negara (perkawinan internasional). Terhadap ketentuan ini ada pendapat dari para sarjana hukum yang melakukan penafsiran secara acontrario terhadap ketentuan pasal 66 UU NO. 1 tahun 1974. Penafsiran tersebut memungkinkan digunakannya ketentuan GHR terhadap perkawinan campuran yang tidak diatur dalam UU No. 1 tahun 1974. Perkawinan campuran memerlukan perjanjian perkawinan untuk menghindari sengketa dikemudian hari, meskipun hal ini bukan suatu keharusan. Dengan tidak diaturnya perkawinan antar agama dalam Undang-undang Perkawinan Nasional seringkali para pihak memanfaatkan ketentuan diperbolehkannya perkawinan di luar negeri. Perkawinan campuran membawa akibat terhadap kewarganegaraan suami/istri dan anak-anak yang dilahirkan. Suami/istri dapat tetap pada kewarganegaraanya atau salah satu pihak mengikuti kewarganegaraan pihak lain. Anak-anak yang dilahirkan mengikuti kewarganegaraan ayahnya. Terhadap harta benda perkawinan menjadi harta bersama, jika terdapat perjanjian perkawinan harta benda perkawinan dalam penguasaan masing-masing pihak.