Kehadiran arsiteinur dalam menghadirkan mang bagi manusia tidaklah tak terbatas. Kebutuhan mendasar manusia berupa ruang bernaung, mempakan tanggungjawab moral profesi seorang arsitek, sejak ilmu ini ditelunran. Arsitektur seharusnya dapat menciptakan ruang berkegiatan yang nyaman bagi segenap golongan manusia dalam segala benluk kegiatannya, tanpa memandang dari tingkatan kelas dan golongan mana ia brasal. Arsiteklur berbicara dan berkomunikasi kepada manusia, hadir sebagai ilmu yang manusiawi, yang kehadirannya akan utuh bile dapal menjawab kekurangan akan kebutuhan fisiologis akan naungan yang mendasar, yang hadir dari segaia fenomena di dunia. Kehadiran bencana alam dan bencana dalam masyarakat adalah fenomena tak terelakkan yang antara lain melahirkan golongan manusia yang kita sebut pengungsi_ dimana dalam segaia kalerbatasannya membutuhkan ruang untuk bemaung, yang seringkali terabaikan.
Berkaitan dngan itu, dunia arsilektur mempunyai tanggungjawab sosial dan tantangan untuk merealisasikan ruang bagi para pengungsi tersebut. Keterbatasan, kedaruratan, ketidak permanenan dan massa, yang biasanya berjumlah besar membutuhkan perhatian dan penelaahan lebih lanjut agar dapat tencipta ruang bernaung yang dapat menawarkan kenyamanan bagi meneka, dimana dituntut pula tercipta bentuk ruang yang responsif yang mampu mengatasi kecemasan psikologi para pengungsi tersebut dan memberikan rasa aman dan terlindungi.
Sebagai jawaban atas keadaan yang ada, arsitektur dengan bentuk dan citranya, dengan segala penyesuaian yang adaptif untuk manusia berstatus pengungsi, hams dapat bersinergi dengan mang dan waktu yang tersedia. Dibutuhkan peninjauan ulang atas tipe ruang beninggal yang sudah ada, baik itu yang berupa usulan maupun yang telah dipergunakan. Analisa atas peninjauan ruang bertinggal dmarapkan memherikan masukan dasar pertimbangan adaptasi arsitektur yang manusiawi mengenai kebutuhan ruang bemaung dan berkegiatan bagi pengungsi.