Pada pertengahan 1960-an, Soekarno, presiden pertama Indonesia, memutuskan untuk membangun sebuah masjid nasional dengan gaya arsitektur modem yang monumental di pusat Kota Jakarta. Impiannya adalah untuk menjadikan ibukota tersebut sebagai mercu-suar dari negara-negara yang timbul. Yang kemudian menjadi penting bagi presiden ini bukanlah arsitek yang harus mendesain bangunan landmark ini, melainkan bentuk bangunan tersebut harus meninggalkan ekspresi arsitektural dari masjid lokal tradisional.
Soekarno menolak untuk membangun masjid tradisional seperti masjid Demak atau masjid Banten, la dan komunitas islam di Indonesia saat itu ingin mendirikan sebuah masjid yang lebih besar dan lebih indah dari masjid Muhammmad Ali di Cairo dengan alasan Indonesia adalah negara islam yang besar. Maka kemudian masjid tersebut terealisasi dan dikenal sebagai masjid lstiqlal.
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Suharto membudayakan arsitektur yang merefleksikan Indonesia. Pada masa inilah ide dan bentuk arsitektur Indonesia lahir kembali. Pada awal 1980-an, dikeluarkan suatu program nasional mengenai bangunan masjid. Ratusan masjid terstandardisasi yang mengadopsi citra masjid Demak dibangun di banyak daerah di Indonesia. Pengadopsian citra ini mungkin merupakan suatu usaha pemerintah baru untuk membangun otoritasnya.
Wacana “hubungan antara arsitektur dan politik" sudah sejak lama muncul. Banyak teorisi-teorisi arsitektur yang mengemukakan hal ini dalam esai-esai dan teori- teori mereka. Yang akan dibahas oleh karya tulis ini adalah arsitektur dan politik pada masa Orde Baru, sebagai masa pemerintahan yang paling lama di Indonesia, berdasarkan esai-esai teori-teori tersebut.