Bermula dari perjalanan ke Serambi Mekah. Gempa bumi dan tsunami telah memporak-porandakan Nanggroe Aceh Darussalam 6 bulan sebelumnya. Bencana tersebut menelan korban ratusan ribu jiwa, menghancurkan ribuan rumah dan bangunan lainnya, meninggalkan Aceh rata ke tanah. Pasca bencana, Aceh mulai membangun. Bantuan berdatangan dari berbagai pihak: pemerintah, swasta, LSM, dan dari lembaga-lembaga kemanusiaan internasional.
Kerusakan di Aceh sangat hebat, untuk membangunnya dibutuhkan peran serta semua pihak terutama dari masyarakat Aceh sendiri. Akan membutuhkan waktu yang sangat lama dan akan sangat menguras tenaga dan uang bila pemerintah ataupun NGO single-handedty berusaha mengatasi backiog besar- besaran tersebut Maka pemerintah (Badan Rekonstruksi dan Rehabffitasi) dan berbagai NGO yang menangani masalah permukiman, lalu menerapkan konsep pembangunan permukiman dengan peran serta masyarakat
Tampak dalam pelaksanaannya ditemui berbagai macam "bentuk” dari konsep 'peran serta'. Dari bentuk yang paling ekstrem yaitu "pemberdayaan* masyarakat sebagai pekerja pembangun rumah mereka sendiri tanpa punya andil dalam keputusan apapun, masyarakat menyerahakan sepenuhnya perencanaan pada ahli (pianner) dan tinggal menyetujui, hingga masyarakat betul-betul mempunyai andil, mengambil keputusan mulai dari penataan lingkungan hingga pembangunan. Hal tersebut memancing rasa ingin tahu penulis akan kemungkinan adanya kesalahkaprahan dalam mendefinisikan konsep pembangunan dengan 'peran serta’ masyarakat.