Skripsi ini membahas ruang heterotopia (irisan dari elemen ruang nyata dan ruang utopia) sebagai alternatif ruang sosial yang terjadi di dalam ruang keseharian (everyday space) di Plaza Indonesia, sebuah pusat perbelanjaan elit yang berlokasi di pusat Jakarta. Pertama, Plaza Indonesia sebagai heterotopia of crisis merupakan salah satu bentuk selebrasi akan - kebebasan - kaum yang sebelumnya tak terlihat (marginal) diantara golongan-golongan yang mendominasi pada saat Plaza Indonesia pertama kali dibuka. Kedua, ruang keseharian di Plaza Indonesia yang - nyaman - (memanjakan seluruh panca indera individu yang berada di tempat tersebut) memberikan kesempatan kepada kegiatan lain yang sama sekali berbeda dari kegiatan - menyenangkan - (seperti bekerja) untuk dilakukan secara bersamaan dan berkelanjutan pada ruang heterotopia tersebut.Ketiga, penampilan masyarakat golongan kelas atas di Plaza Indonesia merupakan suatu bentuk realisasi fantasi utopia dan di saat yang sama keberadaan mereka di Plaza Indonesia (ruang keseharian yang nyata) juga menciptakan suatu persepsi ilusi sebagaimana - fantasi-fantasi - yang kita temui pada media komunikasi high class brand fesyen. Terakhir, heterotopia terbentuk akibat adanya - aksi - unjuk kekuasaan dari kaum - central - (yang berkuasa), sehingga memperlihatkan mana yang menjadi - central - dan mana yang termasuk ke dalam - other - . Namun pada heterotopia, permainan kekuasaan yang ditimbulkan oleh - central - tidak memadamkan kehadiran - other - (tidak seperti pemahaman ruang pada era klasik hingga era modernisme, di mana - central - memadamkan kehadiran - other - ). Ruang heterotopia pada Plaza Indonesia memperlihatkan kepada kita bahwa terdapat suatu ruang yang terdiri dari jalinan - jejaring - antara elemen utopia (tidak nyata, mewakili prinsip ideal) serta elemen dystopia (nyata, berupa ruang secara materi, kebutuhan manusia yang terlihat dari kegiatan sehari-sehari).
The Focus of this study is the application of Foucault's concept of heterotopia (created by the spatial imaginaries and material realities) as alternative social space of everyday space in Plaza Indonesia, an elite shopping center in the heart of Jakarta. First, Plaza Indonesia as heterotopia of crisis is a form of celebration of marginal's 'freedom' among the central group at its first time it's established. Second, everyday space in Plaza Indonesia is ordered and involved possibilities for transgression through the heterotopic juxtaposition of material practice of pleasure within and against site of work. Third, heterotopia space in Plaza Indonesia involves an utopian element which is represented by high society people's appearance that contrasted with real space which make the illusionary space looks real and at the same time make the real space (social space) looks as an illusion of fantasy which we see a lot in communication media in fashion industry. Last, heterotopia support the exercise of power role of the 'center' and the 'other'. Nevertheless, the power role of 'center' doesn't try to freeze the power role of 'other''unlike the power role which happened on classic to modernism era where presence of 'center' tried to freeze the presence of 'other'. These heterotopias founded in Plaza Indonesia show us that there's a space which marked by network of utopia and dystopia elements.