Skripsi ini membahas mengenai perhitungan secara tekno-ekonomi konversi bagas menjadi etanol dengan metode proses Sakarifikasi dan Fermentasi Serentak. Secara peluang teknis, industri ini sangat terbuka untuk dikembangkan. Selain terbukti lebih ramah lingkungan, industri ini juga didukung oleh keberadaan pabrik gula dengan kapasitas giling yang cukup besar serta lahan pertanian yang mendukung untuk ditanami, sebagai penghasil bagas sebagai residunya. Nilai konversi yang dihasilkan pun cukup besar yaitu sekitar 36,4% berbasis berat bagas, atau sekitar 91,4% jika dihitung secara teoritis.
Perhitungan ekonomi untuk mencukupi skala industri masih belum menunjukkan nilai yang menggembirakan hal ini salah satunya disebabkan oleh kurangnya fasilitas fiskal pendukung dari pemeirintah. Untuk memenuhi kapasitas industri 80 KL per hari dibutuhkan bagas murni sekitar 20 ton. Perhitungan secara ekonomi yang juga menyertakan variabel kebijakan fiskal juga masih relatif menunjukkan kelayakan untuk dilakukan sebagi usaha investasi di masa mendatang. Dengan nilai NPV sebesar Rp 32.204.238.747 dan nilai IRR sebesar 9% tentu bukan tidak mungkin akan meningkat seiring semakin langkanya bahan bakar berbasis minyak bumi. Kondisi ini semakin menguntungkan jika diintegrasikan dengan pengelolaan jamur tiram sebagai hasil pretreatment.
This undergraduate thesis focuses in analyzing of techno-economic analysis of ethanol production from bagasse trough Simultaneous Saccharification and Fermentation (SSF). Technically, it has big chance to be developed into a big scale of industry, beside it relatively safe for environment, it also supported by a big number of sugar mill spread in Java and Sumatera. Although the conversion value is also high enough, about 36, 4% base on bagasse mass, or 91,4% theoretically calculated. But, economically with fiscal policy included in, it doesn't work so good in industrial scale. For capacity of 80 KL per day it needs about 20 ton bagasse. The economic analysis gives enough number to attract people to invest. With value of NPV 32.204.238.747 rupiahs and IRR value 9% it is quiet feasible to be run in the next year, when the capacity of fossil fuel is getting down. In addition, it will be more attractive if we integrate the line with the mushroom produced in pretreatment process. Besides the internal factor of industry, government has important role to keep the industry work, maybe with offering some bigger fiscal policy e.g. tax cut, special tariff, that will attract people to make more innovation in energy resources alternative industry.