Realitas sosial sebagai sebuah teks merupakan kajian yang menitikberatkan kepada pencapaian pengetahuan manusia atas realitas yang telah mengalami proses konstruksi (diciptakan). Pertanyaannya adalah bagaimana proses manusia mengetahui tentang realitas sosial ketika realitas sosial itu dikonstruksikan oleh manusia melalui proses interaksi manusia sehari-hari?
Dalam usaha menjawab pertanyaan itu, penulis menggunakan pemikiran yang dikemukakan oleh konstruktivisme sosial. Dalam hal ini penulis mengkaji pemikiran-pemikiran Peter I. Berger dan Thomas Luckmann. John Searle, Stephen Cole dan Andre Kukla. Realitas sosial merupakan konsep filosotis tentang kenyataan sehari-hari manusia. Kenyataan sehari-hari manusia menurut konstruktivisme sosial adalah peristiwa yang di batik sesuatu yang nampak mengalir ide-ide atau gagasan yang sating bersaing. Persaingan gagasan ini muncul melalui simbol-simbol sosial tertentu. Sehingga simbol-simbol sosial itu tidak pernah netral dan lcpas dari gagasan pihak-pihak tertentu yang berkepentingan untuk menguasai pikiran orang lain. Dalam pengertian semacam ini, kenyataan sosial merupakan hasil dari konstruksi pikiran manusia.
Berger dan Luckmann menyebutnya dengan eksternalisasi dari ide-ide manusia. Eksternalisasi ide itu bisa terus berlangsung apabila manusia yang lain menyetujuinya. Ada proses negosiasi dalam kenyataan yang sedang terjadi. Begitu kenyataan sosial tertentu dipilih, manusia yang lain harus menyetujuinya. {ial ini berlawanan dengan pandangan positivisme tentang kenyataan sosial. Kenyataan sosial dipandang sebagai fakta yang tetap dan tidak mengandung gagasan apapun. Apa yang dilihat oleh indra merupakan pengetahuan yang obyektif dan ilmiah.
Pengandaian ini membawa kepada pandangan terhadap adanya universalisasi pengetahuan. Universalisasi pengetahuan ini menurut konstruktivisme dipandang sebagai kedok untuk kepentingan yang lebih besar yakni kolonisasi pengetahuan. Pengetahuan yang sifatnya lokal digeneralisir menjadi pengetahuan yang universal. Lokalitas yang lain yang lebih lemah dipaksa untuk tunduk dan patuh kepada gagasan yang lebih besar sehingga pikiran-pikiran kelompok yang lebih lemah disamakan dengan kelompok yang berkuasa. Jaring-jaring kekuasaan ini membentuk kenyataan sehari-hari ini menjadi sebuah teks yang hanya bisa ditafsirkan dan dikaji lebih dalam untuk mengetahui gagasan dari pihak-pihak yang berkuasa. Ada proses subyektivikasi dalam konstruktivisme sosial. Sehingga keseimbangan relasi dalam membangun kenyataan sosial itu bisa didapatkan.