Sastra pasca kolonial di manapun keberadaannya, pada umumnya mempunyai kesamaan penggambaran, yaitu perlawanan masyarakat yang dijajah terhadap penjajahnya. Namun di Australia bentuk sastra pascakolonial tersebut rnenjadi unik. Di Australia, perlawanan masyarakat yang dijajah yaitu perlawanan suku Aborijin melawan pemerintah Australia mendapatkan simpati dan bantuan dari masyarakat kulit putih penjajahnya. Melalui media maupun karya tulis, mereka turut menunjukkan sikap yang ditujukan kepada pemerintah Australia atas kebijakan-kebijakan yang diberlakukan bagi suku Aborijin yang dirasakan tidak sesuai, bahkan terkesan represif. Beth Roberts, dengan karyanya, Magpie Boy (1989) adalah bagian dari fenomena ini. Di dalam karyanya tersebut, si pengarang kulit putih ini selain menggambarkan kehidupan suku Aborijin dan orang kulit putih, tampak pula memberikan pandangannya terhadap suatu bentuk rekonsiliasi. Salah satu bagian dari gambaran kehidupan suku Aborijin dan orang kulit putih yang diangkat ke dalam cerita yang dianalisis dalam tesis ini adalah nilai-nilai kemanusiaan mereka. Dari nilai-nilai kemanusiaan yang dikaji melalui tokoh dan penokohan sebagai elemen dalam fiksi, kedua kelompok tersebut dicoba pertemukan alam bentuk rekonsiliasi. Namun pada akhirnya terlihat bagaimana penggambaran rekonsiliasi yang dari telah diupayakan oleh pengarang, tidak mendapatkan bentuk yang hakiki melalui caranya menghadirkan simbol-simbol yang metaforis. Simbol-simbol tersebut pada dasarnya adalah pesan pengarang kepada pemerintah Australia atas mereka menyikapi upaya proses rekonsiliasi di dalam negeri