Penelitian mengenai Gerakan Aspirasi Merdeka telah dilakukan di Jayapura dan Sorong sekitar bulan Nopember 2001 dan bulan Juni 2003. Penelitian dilakukan dengan maksud untuk memberikan gambaran yang komprehensif dan aktual tentang prospek politik Papua menuju kemerdekaan dan pemisahan did dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tujuanya guna mencari solusi terhaik dalam komitmen bersama mempertahankan kedaulatan NKRI. Pengumpulan data dilakukan melalui dua cara yaitu melalui sumber tertulis dan lisan. tetapi lebih banyak menggunakan sumber tulisan.
Hasil penelitian menunjukkan bagi masyarakat Papua, proses integrasi wilayah Papua ke Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 dianggap tidak syah. Pelaksanaan Pepera mereka anggap tidak sesuai dengan ketentuan New York Agreement. Di samping itu mereka berpendapat Papua pada tanggal 1 Desember 1961, telah merdeka. Dengan demikian Indonesia telah merampas kemerdekaan mereka. Di situlah letak akar perlawanan sebagian orang Papua terhadap Pemerintah Indonesia. Situasi itulah yang memunculkan stigma Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) yang dalam konteks nasional sering disehut sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM). Perlawanan ini tetap ada sampai sekarang walaupun tidak sampai mengguncangkan stabilitas nasional.
Pada era reformasi, dimana orang relatif dapat bebas berbicara dan menuntut apa saja gerakan perlawanan orang Papua mulai terlihat bangkit kembali. Namun cara perjuangannya berbeda. Jika sebelum era reformasi perlawanan mereka menitikberatkan pada gerakan bersenjata maka pada era reformasi dilakukan secara politis. Namun, isu yang mereka lontarkan dalam perlawan relatif sama yaitu: masalah Pepera, pelanggaran HAM. perlakuan tidak adil dan faktor suku hingsa yang berbeda. Aspirasi untuk merdeka secara resmi disampaikan kepada Presiden B.J. Habibic di Istana Negara, pada tanggal 26 Februari 1999. Dari ketiga butir pernyataan yang disampaikan satu di antaranya berbunyi. Papua ingin merdeka. Langkah selanjutnya tanggal 23 Februari 2000 mereka mengadakan Musyawarah Besar di Sentani yang dihadiri oleh 500 elemen perjuangan Papua merdeka, termasuk Moses Weror, tokoh senior OPM. Mubes ini berhasil membentuk Presidium Dewan Papua (PDP) wadah tanggal perjuangan kemerdekaan Papua yang diketuai oleh Theys Hiyo Fluay dan Tom 13canal. Sebagai tindak lanjut dari Mubes tanggal 29 Mei hingga 5 Juni 2000 diselenggarakan Korgres. Kongres ini melahirkan resolusi yang berisi antara lain menolak hasil Pepera tetapi pemerintah tetap pada pendiriannya yaitu hanya akin memberikan status otonomi khusus bagi Papua, pada tanggal 22 Oktuber 2001 Rancangan Undang-Undang (RUU) Otonomi Khusus (Otsus) disyahkan oleh Presiden Megawati menjadi UU No. 21 Tahun 2001. Di tengah situasi konflik, pada tanggal 10 Nopember 2001, pemimpin PDI Theys Hiyo Fluay ditemukan tewas. Pelaku pembunuhan ternyata adalah anggota Kopassus Para pelaku pembunuhan ini kemudian diajukan ke pengadilan militer di Surabaya dan dijatuhi hukuman penjara.