ABSTRAKSelama abad ke-19 administrasi pemerintah jajahan secara berangsur-angsur diperluas dan dirasionalisasikan sesuai dengan paham-paham pemerintahan Barat. Proses ini melibatkan pemaksaan nilai-nilai dan kaidah-kaidah birokratis Barat atas masyarakat Jawa. Di samping itu pemerintah kolonial juga memperkenalkan konsep¬konsep hak milik, pandangan-pandangan tentang moral dan peranan¬peranan sosial yang baru yang melemahkan ikatan tata-tertib tradisional. Sebagai konsekwensi timbullah pergeseran secara perlahan-lahan dari warisan tradisional ke pola-pola rasional yang legal. Karena di dalam lembaga kolonial tidak terdapat institusi khusus untuk menyalurkan ketidakpuasan dan kekuatan oposisi, rakyat secara umum memiliki cara dalam mereaksi kondisi ini, yaitu dengan melakukan gerakan sosial yang digerakan oleh ideologi mesianistik atau millenaristik. Salah satu gerakan sosial yang muncul pada awal abad ke-19 adalah terjadinya kerusuhan di Cirebon pada tahun 1806. Gerakan sosial tersebut merupakan manifestasi ketidakpuasan yang ditunjang oleh ideologi mesianistik. Dari sudut kolonial, otoritas pengaruh pemimpin gerakan sosial merupakan ancaman apalagi mereka tidak terikat pada salah satu lembaga resmi. Setiap tindakan yang dapat mengubah tatanan yang berlaku bagaimanapun dicap sebagai pemberontakan. Tidak ada pemberontakan yang dapat dibenarkan