ABSTRAKTesis ini mengkaji masalah korban kejahatan dalam
sistem peradilan pidana yaitu mengenai kedudukan korban
dalam proses penyelesaian perkara pidana, persepsi korban
terhadap proses penyelesaian perkara melalui peradilan
pidana dan proyeksi pengaturan masalah korban dalam sistem
peradilan pidana.
Kajian mengenai sistem peradilan pidana pada umumnya
lebih banyak menyoroti masalah perlakuan terhadap
p elaku/terdakwa. Korban kejahatan sebagai pihak yang paling
banyak menderita kerugian, baik materiil maupun immateriil,
akibat perbuatan pelaku kejahatan, kurang mendapat
perhatian. Kenyataan semacam ini merupakan dampak dari
pandangan tentang (konsep) kejahatan dan hukum pidana.
Kejahatan merupakan pelanggaran terhadap ketertiban
umum atau kepentingan umum, dan semua yang berkaitan dengan
ketertiban umum menjadi monopoli negara. Hak-hak korban
d isubrogasikan pada kepentingan umum/negara tersebut. Atau,
karena hukum pidana termasuk hukum publik dan segala
kepentingan individu (korban) dalam hukum publik tidak
ditonjolkan. Akibatnya, dalam proses peradilan pidana korban
ditempatkan dalam posisi yang pasif dan sebagai bagian atau
alat pembuktian dalam proses peradilan pidana.
Dalam perkembangannya, pemahaman terhadap kejahatan
mulai berubah. Kejahatan tidak lagi dipandang semata-mata
pelanggaran ketertiban umum melainkan juga melanggar hak-hak
individu (korban). Sistem peradilan pidana mulai merespon
terhadap permasalahan korban, yang sebelumnya kurang
mendapat perhatian. Korban kejahatan ditempatkan dalam
posisi sebagai pihak yang dirugikan. Korban memiliki hakhak
yang dapat dituntut pelaksanaanya yaitu hak untuk
menuntut ganti rugi atau sebagai pihak ketiga yang
berkepentingan dapat mengajukan keberatan terhadap tindakan
polisi dan jaksa yang melakukan penghentian penyidikan atau
penunt utan.
Melalui analisis prosentase, dapat diketahui bahwa
persepsi korban terhadap penyelenggaraan peradilan pidana
yang diperankan oleh polisi, jaksa, dan hakim pada umumnya
baik. Penilaian korban yang demikian itu dipengaruhi oleh
pengalamannya berhubungan dengan aparat penegak hukum yang
berhasil membawa terdakwa ke sidang pengadilan dan berakhir
dengan penjatuhan pidana. Terhadap hal-hal yang bersifat
umum dalam penyelenggaraan peradilan pidana, pada umumnya
korban menilai bahwa serangkaian proses peradilan belum
sepenuhnya mewakili atau memenuhi keinginan dan kepentingan
kor ban. Peradilan pidana di masa mendatang perlu ditempatkan
sebagai media atau alternatif terakhir dalam penyelesaian
perkara pidana. Sebelum perkara masuk ke pengadilan, perlu
diseleksi dan ditempuh upaya antara lain cara perdamaian
atau mediasi melalui lembaga-lembaga yang oleh masyarakat
sering dijadikan sebagai sarana/tempat menyelesaikan perkara
(mediator). Demikian juga penegak hukum polisi dan jaksa,
seberapa jauh untuk menggunakan hak-hak yang diberikan oleh
undang-undang (misalnya, penghentian penyidikan, penghentian
penuntutan, penyampingan perkara atau deponer) sebagai
sarana penyaring (filter) perkara pidana sebelum masuk ke
pengadilan.