Di lingkungan Peradilan Militer dikenal adanya Perwira penyerah Perkara (PAPERA), yaitu perwira ABRI yang ditunjuk dan diberi wewenang menyerahkan perkara pidana anggotanya kepada Mahkamah/Pengadilan yang berwenang. Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pangab) adalah Papera Tertinggi terhadap tersangka anggota ABRI dan atau mereka yang dipersamakan menurut ketentuan undang-undang.
Sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 1 Darurat Tahun 1958, yaitu UU No. 6 Tahun 1950, sepanjang mengenai pemeriksaan permulaan, segala sesuatu dipusatkan pada Jaksa Tentara, dan semua pejabat-pejabat lain yang mempunyai peranan dalam penyelenggaraan pemeriksaan permulaan, semuanya bekerja di bawah pimpinan/perintah Jaksa Tentara. Dan setelah pemeriksaan berakhir, maka Jaksa Tentara menentukan apakah perkara yang bersangkutan harus diserahkan ke Pengadilan atau tidak.
Sistem ini sangat mengurangi peran serta kedudukan komandan sebagai penyelanggara dan pembina disiplin dan sangat rawan terhadap terjadinya bentrokan antara pihak Kejaksaan dengan pihak pimpinan pasukan. Sistem baru yang diatur pada UU No. 1 Drt Tahun 1958, yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU No. 29 Tahun 1954, tentang Pertahanan Negara yang berbunyi "Angkatan Perang mempunyai peradilan tersendiri dan komandan komandan mempunyai hak penyerahan perkara", maka keseluruhan wewenang Jaksa Tentara sebagaimana diatur pada UU No. 6 Tahun 1950 dibebankan kepada Ankum/Komandan, kedudukan Jaksa Tentara berada di bawah Ankum/Jaka Tentara. Menjadi masalah ialah apakah Ankum/Komandan sudah siap ?
Hasil penelitian penulis menunjukkan bahwa Ankum/Komandan ternyata tidak siap; agaknya pemerintahpun menyadari kondisi ini, maka Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan UU No. 1 Drt Th 1958 ini tidak kunjung ada. Sementara peradilan harus tetap berjalan, maka sebagai peraturan pelaksanaan dikeluarkan oleh Kasad selaku pimpinan Angkata Darat dan Kas Angkatn lain, sehingga akibat lain yang timbul adalah tidak adanya kesatuan hukum. Maka pelaksanaan hukum acara pada peradilan militer secara formal menggunakan sistem baru, namun secara materiel menggunakan sistem lama. Komandan sering tidak lagi memahami perkara tersangka, tetapi hanya terima tanda tangan saja apa yang disodori oleh Jaksa Tentara.
Hasil kajian penulis tentang kemampuan hukum Ankum/Komandan berdasarkan kurikulum Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) Tahun 1974, menunjukkan bahwa pembekalan materi Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) sejumlah 62jam, yang setara dengan 2,61 SKS (Satuan Kredit Semester) dibandingkan dengan 12 SKS sebagaimana diwajibkan bagi Fakultas Hukum berdasrkan SK Dirjen Dikti No.30/DJ/Kep/l983 tentang Kurikulum Inti Program Pendidikan Sarjana Bidang Hukum.
Hasil penelitian penulis dilapangan menunjukkan bahwa kelambatan proses penyelesaian suatu perkara lebih sering terjadi karena tidak ditandatanganinya (oleh Papera) Surat Keputusan Penyerahan Perkara (Skeppera). Setelah mengkaji penyebab terjadinya kendala-kendala selama ini, dihubungkan dengan beberapa sistem di negara lain, penulis condong kepada sistem negeri Belanda, yaitu adanya "officier CommissarrisM sebagai Perwira Staf Ahli Ankum/Komandan. Dengan demikian penulis mengemukakan dua hal yang harus diperhatikan dalam upaya mengatasi kendala tersebut di atas, yaitu: l) pengadaan Perwira Staf Ahli untuk semua jajaran mulai dari satuan dengan jabatan Komandan selaku Ankum yang secara teknis dibina oleh Direktorat Hukum TNI-AD; dan 2) kewajiban mengikuti Kursus Ankum/Ke-Papera-an, sebagai prasyarat untuk menduduki jabatan promosi yang dimulai dari jabatan komandan setingkat Kompi, yang dapat dilakjukan oleh Pusat Pendidikan Hukum TNI-AD. Dengan demikian seorang Komandan tidak perlu lagi dibebani dengan masalah khusus, sehingga dapat memusatkan perhatian pada kemampuan teknis kesatuannya masing-masing. Khusus untuk teknis hukum berada di bawah pembinaan Direktorat Hukum TNI-AD. (TS. Maha).