ABSTRAKKapal tanker merupakan salah satu jenis kapal barang yang mengangkut muatan
cair berbentuk curah yang sangat berbahaya. Tanggung jawab pengangkutan barang
melalui laut, menyangkut masalah kepada siapa dan mengapa tanggung jawab pelaksanaan
penyelenggaraan pengangkutan harus dibebankan. Tanggung jawab pada hakikatnya
terdiri atas dua aspek, yaitu tanggung jawab yang bersifat kewajiban yang harus
dilaksanakan sebaik-baiknya (responsibility) dan tanggung jawab ganti rugi (liability)
kepada pihak yang dirugikan. Salah satu tugas Pertamina (Perusahaan Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi Negara) adalah menyalurkan minyak dan hasil produksi minyak ke
seluruh Indonesia. Guna menjamin kelancaran penyediaan dan distribusi produk-produk
tersebut keseluruh pelosok tanah air, Pertamina mempergunakan kapal tanker milik
ataupun carter. Tanggung jawab dalam pengangkutan kapal tanker merupakan hal yang
sangat penting karena menyangkut masalah tanggung jawab pengangkut sebagai pemilik
kapal tanker serta tanggung jawab pengangkut sebagai pencarter kapal tanker terhadap
pemilik kapal tanker. Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 1992 tentang
Pelayaran mengatur tanggung jawab pengangkut di dalam Pasal 86. Sementara itu, di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang mengenai pengangkutan barang dalam
kaitannya dengan tanggung jawab pengangkut diatur di dalam Buku II Bab Va, Pasal 466
sampai dengan Pasal 520. Tanggung jawab pengusaha tanker menjadi semakin berat
terutama tanggung jawabnya terhadap pencemaran laut yang disebabkan tumpahnya
minyak ke laut. Pemerintah RI telah mengambil langkah-langkah dalam hal pencegahan
pencemaran dengan meratifikasi dan memberlakukan konvensi-konvensi internasional
seperti Keputusan Presiden Nomor 46 Tahun 1986 yang meratifikasi Konvensi Marpol
73/78 Anex I tentang Minyak dan Anex II tentang Bahan Cair Beracun yang diangkut
dalam bentuk curah (noxious liquid substances carried in bulk). Undang-Undang RI No. 4
tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Bab VI
Pasal 20 dan 21 mengatur ganti rugi dan biaya pemulihan karena kerusakan/pencemaran
lingkungan, sedangkan Bab VII Pasal 22 mengatur mengenai ketentuan pidananya.
Undang-Undang RI No. 21 tahun 1992 tentang Pelayaran mengatur pula usaha
Pencegahan Pencemaran dalam Pasal 65 sampai dengan Pasal 68 dan Pasal 119 sampai
dengan Pasal 121. Dalam pertemuan internasional di Brussels tahun 1969, 29 negara telah
menandatangani International Convention on Civil Liability Convention for Oil
Pollution Damage (konvensi CLC 1969). Dalam Konvensi tersebut telah ditetapkan
peraturan dan prosedur internasional yang seragam untuk menentukan pertanggungjawaban
dan penyediaan dana kompensasi kepada yang menderita kerusakan karena
pencemaran minyak yang berasal dari kapal. Pemerintah Indonesia sebagai salah satu
penandatangan konvensi telah meratifikasi konvensi CLC 1969 dengan Keputusan
Presiden Nomor 18 tahun 1978 dan penerapannya diikuti dengan Instruksi Menteri Perhubungan Nomor 1 M.4/AL.1003/PHB.82 dan Surat Keputusan Direktur Jendral
Perhubungan Laut No. DKU 64/7/10-1982 tanggal 14 Juli 1982 tentang Keharusan
Memiliki Sertifikat Dana Jaminan Ganti Rugi Pencemaran Laut bagi kapal-kapal yang
mengangkut minyak sebagai muatan curah dalam jumlah lebih dari 2000 ton. Sertifikat
Dana Jaminan Ganti Rugi Pencemaran Laut (iCertificate of Insurance or Other Financial
Security in Respect o f Civil Liability for Oil Pollution Damage) dikeluarkan oleh
Pemerintah negara di tempat kapal tersebut didaftarkan, setelah pemilik/operator kapal
membuktikan bahwa mereka telah mengasuransikan tanggung jawabnya, biasanya melalui
Protection and lndemnity Club (P & I) terhadap kerugian yang tercantum dalam artikel
VII konvensi CLC 1969. Sementara itu, Pasal 121 Undang-Undang RI No. 21 tahun
1992 tentang Pelayaran menegaskan bahwa pemilik atau operator kapal yang tidak
mengasuransikan tanggung jawabnya dipidana dengan kurungan paling lama 6 (enam)
bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).