Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) mempunyai sasaran dan tujuan demi terbentuknya suatu unifikasi hukum perkawinan yang berlaku bagi seluruh warga negara. Cita-cita ini mengalami hambatan dengan kenyataan yang hidup dalam masyarakat yang menyebabkan ketentuan perundangan perlu disempurnakan dan/atau diantara para pejabat yang berwenang melakukan koordinasi diantara mereka atau meneliti lebih dalam data yang diterima.
Untuk melihat praktek termaksud, penulis melakukan penelitian terhadap perkawinan dua orang warga negara Indonesia berbeda agama yang dilangsungkan di luar negeri, dimana realita menunjukkan telah dilakukan dua kali perkawinan, yaitu berdasarkan UUP pasal 56 ayat 1, dan pasal 2 ayat 1, dimana kedua perkawinan tersebut sah, dan dilakukan pencatatannya di Indonesia, sesuai UUP. Suami menggugat cerai istri ke Pengadilan Negeri, dan dikabulkan, namun pada tingkat banding dan tingkat kasasi, ditolak. Karena mereka memiliki dua surat nikah, maka meskipun permohonan cerai ditolak Mahkamah Agung, suami berupaya menggunakan surat nikah secara Islam untuk gugatan cerainya di Pengadilan Agama, yang ternyata dikabulkan sampai terbit Akta Cerai. Dengan adanya alternatif untuk memilih penggunaan surat nikah bagi perceraian, terlihat ada celah yang dapat digunakan oleh seseorang dalam upaya menceraikan pasangannya apabila mengalami jalan buntu.
Dualisme perkawinan seperti ini kiranya bukan merupakan sasaran dan tujuan UUP, terlebih lagi belum menjamin kepastian hukum dalam masyarakat .Sebagai pelengkap, suami mengajukan gugat cerai ulang ke Pengadilan Negeri, dan dikabulkan. Pengajuan cerai kedua kalinya (nebis in idem?) telah mengundang keingintahuan pula akan alasan PN mengabulkan gugatan yang pernah diajukan.