Tahun 2003 dikeluarkan UUK No. 13 untuk menyelesaikan masalah perburuhan di Indonesia. Pada saat ditetapkan, kalangan Serikat Suruh (Pekerja) mengajukan Judicial adanya sanksi bagi pengusaha yang tidak mematuhi aturan. Gugatan tersebut tidak dipenuhi Mahkamah Konstitusi (MK), dengan pertimbangan iklim investasi yang kondusif.
Tiga tahun seteiah berlakunya UUK No. 13, pemerintah dan pengusaha berniat melakukan revisi untuk meningkatkan daya saing global, sebagai prasyarat panting penciptaan iklim investasi yang kondusif. Hal itu mendapat tolakan dari kalangan SPSB, karena yang akan dilepas (diliberalisasi) adalah normatif.
Ada dua alasan utama yang mendasari keinginan merevisi UUK No. 13, yaitu jika dibandingkan dengan negara lain (1) pesangon yang lebih hesar; dan (2) upah beserta kompeonen pembentuknya tidak fleksibel. Secara hipotesis, perlawanan SP-SB dapat dipahami sebagai bentuk ketakutan tidak adanya lagi kepastian hukum dipenuhinya hak normative dalam bekerja. Hal itu dapat diuji melalui penelitian tesis ini, yaitu menguji Apakah terdapat pengaruh Persepsi Pekerja tentang Hukum Perburuhan terhadap tingkat soosial ekonomi pekerja?".
Objek penelitian adalah 259 mantan Pekerja PT Securicor Indonesia, yang terkena proses PHK masal. Objek penelitian memenuhi seluruh persoalan konflik kepentingan dalam UUK No.13, yaitu persoalan upah minimum, hak berunding dan menyatakan peuciapat, proses penetapan PHK, hak normatif sepanjang belum adanya penetapan PHK dan pesangon.
Persepsi diperoleh melalui kusioner, dimana 230 responden mengembalikannya. Persepsi tingkat sosial ekonomi dalam hukum perburuhan didasarkan kepada 15 pertanyaan, terbagi dalam kelompok perceiver (sikap dan pengetahuan responden tentaag perburuhan), target perubahan hukum perburuhan, situasi kerja.
Uji statistik linkert, dengan menggunakan aplikasi SPS, menguji korelasi persepsi (jawaban) responden tentang tingkat sosial ekonomi (skala 1 sampai 7) dengan UUK No. 13 tahun 2003. Hasil perhitungan menunjukan fungsi Tingkat Sosial Ekonomi = 2,368 + 0,536 Hukum Perburuhan. Dengan demikian, faktor variabel hukum perburuhan diatas angka 0,5, menunjukan besarnya perlindungan masalah normatif digantungkan aturan dalam UUK No. 13.
Karenanya, jika meliberalisasi UUK yang lebih fleksibel adalah pilihan, maka juga harus memberikan kepastian hukum terpenuhinya tingkat sosial ekonomi (normatif) bagi pekerja itu sendiri. Sehingga, ratifikasi sistem jaminan sosial (asuransi pengangguran) harus dilakukan terlebih dahulu sebagaimana pola legislasi yang terjadi di negara lain. Guna menjamin terlepasnya beban krisis hanya menjadi tanggung jawab korporasi semata, melainkan juga tanggung jawab lindung nilai ketidakpastian masa depan dari pemerintah dan pekerja itu sendiri.