Pembagian urusan kehutanan menjadi salah satu isu penting dalam pengelolaan hutan di era desentralisasi, penulisan tesis ini bertujuan untuk mendiskripsikan dan menganalisis mengenai (a) pembagian urusan kehutanan antara pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, dan (b) hambatan-hambatan dalam pembagian urusan kehutanan di Indonesia.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan analisis kualitatif berdasarkan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Hasil penelitian menunjukan bahwa hubungan Pusat dan Daerah dalam pengurusan hutan dari mulai jaman Hindia Belanda sampai dengan saat ini telah mengalami pasang surut. Pasang surut hubungan ini tercermin dalam berbagai produk perundangundangan yang mengatur mengenai pengurusan hutan.
Pertama, pada masa pemerintahan Hindia Belanda dan di awal-awal kemerdekaan, pengurusan hutan sangat tersentralisasi. Kedua, pada tahun 1957 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 1957, pengurusan hutan mulai didesentralisasikan kepada Daerah Tingkat I, namun pada tahun 1967 dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 pengurusan hutan menjadi sentralisasi kembali. Ketiga, pada tahun 1995, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1995, Pemerintah menyerahkan lima urusan kehutanan kepada Daerah Tingkat II. Keempat, pada tahun 1998, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998, Pemerintah menyerahkan sebagian urusan kehutanan kepada Pemerintah Daerah Tingkat I dan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II. Kelima, pada tahun 1999, melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, pengurusan hutan mengalami perubahan yang sangat radikal (radical change) dibandingkan dengan sebelumnya. *
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, terdapat 16 (enam belas) wewenang bidang kehutanan yang tetap berada di Pemerintah Pusat dan 18 (delapan belas) wewenang didesentralisasikan menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi dalam menjalankan otonominya. Sedangkan kewenangan yang dimiliki oleh kabupaten/kota tidak dirinci secara jelas tetapi sisa dari kewenangan yang tidak secara tegas diatur menjadi kewenangan Pusat dan Provinsi menjadi milik daerah kabupaten/kota. Keenam, pada tahun 2004, berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, urusan kehutanan merupakan urusan pemerintahan yang bersifat "concurrent" yaitu urusan yang akan dikerjakan bersama oleh Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota.