Dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah, peranan pejabat umum tanah ini semakin eksis dalam hukum tanah di Indonesia. Untuk membuktikan adanya perbuatan hukum peralihan hak atas tanah kecuali pemindahan hak melalui lelang, sebagaimana dikehendaki dalam UPA harus dibuktikan dengan akta otentik yang dibuat oleh PPAT. Sebagai salah satu pejabat yang berwenang untuk membuat akta peralihan hak atas tanah dan bangunan, PPAT tunduk pada
ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang
BPHTB. Namun dalam praktik mash ditemukan adanya penyimpangan terhadap
ketentuan tersebut, ditandatangani mendahului kewajiban pembayaran BPHTB.
Salah satu contonya adalah kasus jual beli tanah yang dilakukan oleh Tuan Reza Sulaiman Sundjaja selaku kuasa sah dari Tuan Rangga Sunargo dengan Nona Ariana Widjaja telah merugikan PPAT yang membut akta tersebut. Faktor ketidaktahuan atau pula kecerobohan dalam jangka waktu pembayaran BPHTB,
menyebabkan PPAT tersebut dikenai sanksi administratif yang tidak sedikit
jumlahnya. Mengenai akta yang dibuat oleh PPAT yang dikenai sanksi tersebut tidak menjadi batal atau dengan kata lain tetap sah dimata hukum. Hal ini dikarenakan akta tersebut tetap telah memenuhi syarat formal maupun material.
Hanya saja amatlah disayangkan apabila didalam suatu transaks jual beli yang kita lakukan menyebabkan orang lain yang menanggung kerugiannya. Di dalam praktek, nal seperti ini dapat saja menimpa siapapun. Oleh karena itu seorang PPAT sebagai pejabat memeriksa lebih teliti dokumen yang diperlukan atau menawarkan membayarkan sendiri setoran BPHTB ke kantor cabang Bank yang ditunjuk oleh pemerintah yang diwajibkan tersebut, agar tidak terulang kasus yang serupa.