Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, pengikatan jaminan berupa hak atas tanah diatur melalui lembaga Hak Tanggungan. Permasalahan pokok yang dianalisis adalah disertakan Badan Pertanahan Nasional dalam Putusan Pengadilan Nomor 35/Pdt.G/2006/PN.BGR ikut dijadikan sebagai Turut Tergugat dan diperintahkan untuk melakukan pendaftaran peralihan hak serta keputusan Pengadilan yang menyatakan sah jaminan pelunasan hutang dengan jaminan sertipikat hak atas tanah yang dilakukan secara di bawah tangan dan tidak diproses sesuai dengan ketentuan UU No.4 Tahun 1996 dan peraturan pelaksanaannya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif, dengan menghimpun dan menganalisis data sekunder, berupa literatur dan peraturan perundangundangan yang terkait dengan lembaga jaminan khususnya lembaga Hak Tanggungan.
Hasilnya, dituangkan dalam kesimpulan bahwa menyertakan Kantor Pertanahan sebagai salah satu Tergugat dalam kasus cidera janji hutang pihutang dengan jaminan hak atas tanah yang dilakukan di bawah tangan bukan merupakan tindakan hukum yang tepat karena Kantor Pertanahanan- sama sekali tidak ada kaitannya dengan prosedur pengikatan jaminan yang dilakukan oleh Penggugat dan Penggugat. Melakukan gugatan hak atas tanah dalam pengikatan jaminan tanpa prosedur hukum yang sesuai dengan UU No. 4 Tahun 1996 hanya dapat dilakukan melalui proses gugatan perdata biasa. Gugatan melalui pengadilan tidak memiliki batas waktu kadaluwarsa sesuai dengan asas publikasi negatif yang dianut dalam konsep hukum tanah di Indonesia. Amar Putusan Pengadilan Negeri Bogor merupakan pertimbangan yang kontradiktif dalam kaitannya dengan penjualan tanah sebagai jaminan karena jika hak Penggugat untuk melakukan penjualan harus melalui prosedur pelelangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.