Studi ini mempelajari interelasi negara, pasar, dan masyarakat melalui kajian pembangunan BRT-Transjakarta. Penulis tidak bermaksud menguji teori/konsep interelasi negara, pasar, dan masyarakat yang dibangun oleh para teoretisi, tetapi digunakan untuk membantu dalam memahami dinamika interelasi yang berkembang menuju kontestasi dan kolaborasi menggunakan metode penelitian kualitatif.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa interelasi negara, pasar, dan masyarakat mengalami pergeseran dari gaya dominasi (state authority) ke gaya pasar (competition). Bergesernya interelasi itu tampak dalam pembangunan BRT-Transjakarta. Negara dikondisikan oleh logika kuasa bisnis yang dilatari oleh kepentingan pemerintah untuk mengontrol operator dalam rangka mewujudkan transportasi berkelanjutan. Ekonomi pasar tidak dapat berjalan tanpa negara yang bertindak sebagai regulator dan penentu kebijakan politik.
Kolaborasi negara dan pasar merupakan preskripsi kebijakan dan jalan keluar yang baik untuk menciptakan transportasi berkelanjutan. Namun, tanpa keterlibatan masyarakat, kolaborasi negara dan pasar/swasta tidak dapat menjadi preskripsi yang dapat diandalkan.
Keterlibatan masyarakat sangat diperlukan melalui desakannya kepada negara untuk memberikan jaminan pelayanan minimum yang dapat menjadi dasar bagi masyarakat untuk turut mengontrol peran negara secara tepat.
Kesimpulan studi ini adalah BRT-Transjakarta sebagai proyek hegemoni kekuatan pemerintah yang didukung oleh birokrasi untuk mensubordinasi kekuatan operator dan masyarakat. Logika pengelolaan dan pengembangan BRT-Transjakarta merupakan cermin dari menguatnya dominasi negara dalam interelasi dengan pasar dan masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dari regulasi yang dibuat oleh pemerintah untuk memberi kemudahan bagi dirinya sendiri untuk merealisasi kepentingan ekonomi politik dan budaya. Operator menjadi tersubordinasi karena tidak menjadi pemain bebas, tapi dikendalikan oleh regulasi yang dibuat oleh pemerintah sebagai representasi dari negara. Semuanya itu menjadi fenomena demi terciptanya transportasi yang berkelanjutan, yang oleh masyarakat dipahami sebagai transportasi yang aman, nyaman, selamat, dan terjangkau. Intervensi negara dalam bentuk pemberian subsidi yang besar, telah menjadikan BRT-Transjakarta sebagai komoditas kolektif yang terus berkembang menjadi sumberdaya ekonomi, politik, dan budaya yang diperebutkan oleh para aktornya.
The study analyzes the interrelation among state, market and society in the development of BRT-Transjakarta. The writer did not intend to examine the theory/ concept of interrelation among state, market and society established by theorists. Rather he employed the theories to help understanding the dynamics of the interrelation which leads to contestation and collaboration using qualitative research methodology. The results of the study show that the interrelation among state, market, and society experienced a shift from domination style (state authority) to market style (competition). This is shown by the development of BRT Transjakarta. The state was conditioned by the logic of business power where the local government has the interests in controlling the operator in order to have a sustainable transportation. The market economy cannot function without the existence of the state as the regulator and the political policy maker. The collaboration or alliance between the state and the private sector is the prescribed policy and a good way out to create a sustainable transportation. However, without the involvement of the society, the alliance between the state and the market/private sector will not be a dependable prescription. The involvement of the society is shown through its demand to the state to provide the minimum guaranteed service which can be the basis for the society to control the role of the state properly. The study concluded that BRT-Transjakarta as a project that shows the hegemony of government power supported by the bureaucracy to subordinate the power of the operator and the society. The logic of the management and the development of BRT Transjakarta is a reflection of the strengthened domination of the state in its interrelation with the private sector and the civil society. This is reflected by various regulations set by the government to facilitate its economic, political and cultural interests. Operators are subordinated and cannot be free agents because they are controlled by the regulations set by the government as the representative of the state. It is all committed to create a sustainable transportation, which the society perceives as a safe, comfortable, and affordable transportation. The state?s intervention in the form of huge subsidies has made BRT-Transjakarta as a collective commodity which continues to grow to become economic, political and cultural resource that is being contested by its actors.