ABSTRAKKetidakhadiran terdakwa dalam proses persidangan perkara tindak pidana korupsi
mengakibatkan kerugian negara tidak dapat dieksekusi dan terganggunya proses
penanganan perkara lain yang berkaitan dengan perkara tersebut. Untuk itu Pasal
38 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU TPK) mengatur tentang peluang dilakukannya pemeriksaan dalam
persidangan perkara korupsi tanpa kehadiran terdakwa (peradilan in absentia)
dengan maksud untuk menyelamatkan kekayaan negara. Namun dalam
penerapannya, peradilan in absentia masih belum menyentuh tujuan utama
tersebut. Di sisi lain, peradilan in absentia dihadapkan pada prinsip bahwa
kehadiran terdakwa adalah untuk memberikan ruang kepada hak-hak asasi sebagai
manusia. Permasalahan yang muncul adalah bagaimanakah penerapan peradilan
in absentia dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, yang
selanjutnya memunculkan pertanyaan bagaimanakah konsepsi peradilan in
absentia apabila dikaitkan dengan hak asasi manusia (HAM) dalam hal ini hak
asasi terdakwa tindak pidana korupsi, bagaimanakah penerapan hukum peradilan
in absentia dalam UU TPK dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi, dan bagaimanakah peranan peradilan in absentia dalam memaksimalkan
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Metode penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang dilakukan terhadap
bahan pustaka atau data sekunder yang dilakukan melalui studi kepustakaan/studi
dokumen (documentary study) dan dianalisis dengan menggunakan metode
deskriptif kualitatif. Peradilan in absentia harus dilaksanakan berdasarkan
KUHAP terutama berkaitan dengan tata cara pemanggilan yang sah. Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan hak terdakwa
untuk menghadiri sidang guna melakukan pembelaan terhadap dirinya, namun
terdakwa secara sengaja tidak berkeinginan menggunakan hak tersebut. Dalam
konteks ini, hak membela diri terdakwa dapat ditunda pemenuhannya. Instrumen
yang dapat digunakan dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi adalah
penyitaan dan perampasan sebagaimana diatur dalam KUHAP dan UU TPK.
Sedangkan untuk aset yang berada di luar negeri, Indonesia mengacu pada
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam United Convention Againts Corruption
2003 (UNCAC/Konvensi Anti Korupsi/KAK) yang telah diratifikasi Indonesia.
Peradilan in absentia dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi
berhadapan dengan berbagai permasalahan terutama berkaitan dengan
ketidaksamaan persepsi dalam menyikapi ketentuan-ketentuan yang berlaku
terutama dalam peradilan in absentia dan pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi, kesulitan-kesulitan teknis dalam tahap penyidikan sampai eksekusi, dan
perbedaan sistem hukum Indonesia dengan negara lain yang sangat
mempengaruhi proses pengembalian aset.
AbstractThe absence of the defendant in a trial, specifically corruption, not only can
hamper the attempt to recover the stolen assets but also vex the case handling
process on relate matter. In order to fill the gap between the inability bring the
defendant into the court and the compulsory need to present the defendant has
became the essence of Article 38 Act No. 20 of 2001 on Eradication of the
Criminal Act of Corruption (UU TPK) that regulates in absentia trial by means to
enable the recovering of the stolen assets. However, in its implementation the in
absentia trial process has not yet brought any sufficient results. Whereas, the
process is resulted the debate from the human rights' point of view on whether the
system must ensure that every person has the right to defend him/herself in front
of the fair trial and cannot be self adjudicated by the evidence solely deliberate
from the prosecutor (government). Thus, this thesis will discuss three main issues
in regard to the in absentia trial for corruption case. First, it will discuss on the
conceptual view on how the in absentia trial in colliding with the human right
view. It will discuss the necessity to have the in absentia trial whilst the necessity
for the government to ensure the establishment on fair trial before the court for
every person. The second issue, will discuss on the implementation of the in
absentia trial in regards to the attempt to repatriate the stolen asset. Third, the
discussion will also elaborate on the optimum utilization of the in absentia trial as
an alternate choice in conducting stolen asset recovery. The thesis is using the
normative research method based on library literatures or usually called as
secondary data based on literature study/documentary study and being analyzed
using qualitative descriptive methods. The implementation the in absentia trial is
based on KUHAP, specifically on the chapter that relates to the summoning
procedures. KUHAP regulates that any defendant has the right to defend
him/herself before the court and despite the fact that this has not been effectively
exercise due to the the defendants' own desire. And under special circumstance
the exercise of that right also can be adjourned. The instruments that applies in the
repatriation of stolen assets recovery are the seize and confiscate as mentioned
under the KUHAP. Whereas for the assets that locate in a foreign jurisdictions,
Indonesia is referring to the regulations under the UNCAC that had been ratified
under Indonesia law. In absentia trial in recovering the proceeds of corruption is
dealing with the various problems mainly related to the perception of inequality in
concerning the regulations of in absentia trial and the repatriate stolen assets,
technical difficulties in the process from investigation phase until execution, and
Indonesia?s legal system difference with other countries will influence the
attempt to recover the assets.