Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan peradilan umum yang awalnya dibentuk berdasarkan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pembentukan pengadilan khusus ini berawal dari anggapan bahwa diperlukan mekanisme yang berbeda dari mekanisme peradilan konvensional dalam menangani perkara-perkara korupsi. Judicial review yang dilakukan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dasar hukum pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tersebut adalah inkonstitusional dan menyebabkan standar ganda (dualisme) dalam penanganan perkara korupsi, yaitu melalui Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pemerintah menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dengan menetapkan UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, yang khusus mengatur mengenai Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara korupsi. Dengan diundangkannya Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang baru ini maka Pengadilan Negeri tidak lagi berwenang menangani perkara korupsi. Hal ini memunculkan permasalahan dalam proses peralihan kewenangan dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana yang diatur dalam Ketentuan Peralihan, khususnya pada Pasal 36 UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Penentuan locus delicti dalam suatu perkara korupsi menjadi hal penting yang harus dibahas dalam menentukan pengadilan yang berwenang menangani perkara terkait dengan ketentuan Pasal 36 UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Penelitian ini dilakukan dengan metode hukum normatif dengan menggunakan pendekatan secara kualitatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan, analitis, dan kasus.
Anticorruption court is a special court formed in the zone of the general judicature, which is formed for the first time based on the Article 53 of Law No. 30 Year 2002 on the Commission of Corruption Eradication (Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). The establishment of this special court initially comes from the assumption that it takes a different mechanism than conventional justice mechanisms in dealing with corruption cases. Judicial review of the Constitutional Court declared the legal basis for the establishment of the Anticorruption Court is unconstitutional and raises a double standard (dualism) in handling the corruption cases, namely through the District Courts and Anticorruption Court. The government responded to the verdict of the Constitutional Court by stipulating Law No. 46 Year 2009 on the Anticorruption Court, which specifically regulates the Anticorruption Court as the only court that is authorized to examine, judge and adjudicate corruption cases. With the enactment of the Law No. 46 Year 2009 on the Anticorruption Court, then the District Court no longer has the authority to deal with corruption cases. Thus, arises the problems in the process of authority transition from the District Court to the Anticorruption Court, as stipulated in the transitional provisions, in particular on Article 36 of Law No. 46 Year 2009 on the Anticorruption Court. Determining the locus delict in corruption cases becomes important things that must be addressed in order to determine which court authorized to handle corruption cases related to the provisions of Article 36 of Law No. 46 Year 2009 on Anticorruption Court. This study was conducted the normative-law method by using a qualitative approach. This study used the approachment to legislation, analytical, and case study.