ABSTRAKHubungan antara Kesultanan BUTON dengan VOC/Belanda sudah berlangsung lama. Bentuk hubungan itu dimulai dari persekutuan sampai dengan kolonialisme. Dalam periode yang panjang antara awal abad ke-17 sampai awal abad ke-20 telah memperlihatkan eksistensi dan kedaulatan Sultan Buton. Kontrak 1906yang ditandatangani Sultan Asyikin dengan Residen Brugman merupakan akhir dari tegaknya kedaulatan Buton. Oleh karena sejak itu kesultanan Buton telah masuk ke dalam wilayah kekuasaan pemerintah Kolonial Hindia-Belanda.
Dilihat dari perspektif sejarah Buton, kontrak 1906 merupakan peristiwa kontroversial karena dilatarbelakangi oleh perselisihan di kalangan elite kerajaan. Sultan Asyikin dianggap telah "menjual" kedaulatan Buton kepada Belanda. Karena itulah ia diberi julukan sebagai "Sultan Motekena" atau "Sultan yang menandatangani".
Perkembangan sesudah kontrak 1906 memperlihatkan gejala semakin kuatnya pengaruh politik dan ekonomi kolonial ke dalam Kerajaan dan masyarakat Buton. Pemerintah kolonial Belanda melakukan penyederhanaan jumlah aparatur tradisional kerajaan, pemberian gaji kepada mereka dan memperkenalkan pajak kepada rakyat. Perkembangan ini mengakibatkan perlawanan rakyat Buton terhadap kekuasaan Kolonial Belanda seperti yang terjadi di Waruruma 1911, dan Pasar Wajo 1916.