Beliung persegi adalah salah satu artefak prasejarah yang cukup banyak ditemukan di Indonesia. Berdasarkan laporan penduduk diketahui bahwa benda ini tersebar luas di pulau Jawa. Penelitian arkeologi juga menunjukkan telah terdapat beliung persegi di situs-situs seperti: (1) Kampung Kramat di Jakarta Timur, (2) Pejaten di Jakarta Selatan (3) Condet di Jakarta Timur, (4) Tanjung Barat di Jakarta Selatan, (5) Pondok Cabe di Tangerang, (6) Bantarjati di Jakarta Timur, (7) Pondok Cina di Depok, (8) Kelapa Dua di Depok, (9) Buni di Bekasi, (10) Pasir Angin di Bogor, (11) Panumbangan di Sukabumi, (12) Cipari di Kuningan, (13) Limbasari di Purbalingga, (14) Tipar Ponjen di Purbalingga, (15) Ngerijangan di Pacitan, dan (16) Kendeng Lembu di Banyuwangi. Salah satu hal yang belum banyak diketahui adalah mengenai kebudayaan neolitik di Pulau Jawa. Untuk mengenali kebudayaan tersebut dilakukan kajian produksi, distribusi, dan konsumsi beliung persegi. Kajian mengenai hal ini merupakan usaha rekonstruksi kebudayaan terutama menggambarkan kembali cara-cara hidup manusia masa lalu. Penelitian ini berlandaskan konsep-konsep yang dikenal baik di dalam ilmu arkeologi itu sendiri maupun ilmu lain, misalnya ilmu_ilmu sosial dan ilmu-ilmu alai. Menurut Clarke (1978), analisis dilakukan secara khusus dan kontekstual. Analisis khusus nondestruktif mencakup analisis morfologi, analisis teknolo i, dan analisis jejak pakai dengan menggunakan program computer PSS (Statistical Program for Social Science). Analisis kontekstual dilakukan dengan mengacu pada pendekatan arkeologi permukiman yang mengkaji beliung persegi, temuan lain, dan data lingkungan seperti geologi dan geomorfologi situs. Produksi, distribusi, dan konsumsi adalah suatu sistem yang masing-masing terdiri atas subsistem-subsistem. Produksi mencakup subsistem: pengumpulan bahan baku dan peralatan, pembentukan bahan baku menjadi calon beliung persegi, dan pembentukan calon beliung persegi menjadi beliung persegi jadi. Distribusi mencakup: distribusi bahan baku, distribusi calon beliung persegi, dan distribusi beliung persegi jadi. Konsumsi mencakup: pemakaian praktis, pemakaian non praktis, dan perbaikan untuk dipakai kembali. Kesemuanya saling terkait dan membentuk rangkaian produksi, distribusi, dan konsumsi. Berdasarkan hal-hal di atas, dapat disusun suatu rekonstruksi masyarakat masa neolitik di Jawa. Rekonstruksi produksi terkait dengan teknologi yang mencakup teknik, peralatan, rancangan, dan pengetahuan. Masyarakat telah mengembangkan dan memantapkan teknik baru di dalam pembuatan alat batu yakni teknik asah dan teknik upam% yang diterapkan di dalam pembuatan beliung persegi. Rangkaian proses produksi memerlukan peralatan seperti batu pukul, tulang sebagai pahat, dan batu asah. Rancangan beliung persegi adalah sebuah benda dengan bentuk dasar tertentu yang simetris bentuknya, schingga ketika benda tersebut diiris secara membujur akan menghasilkan dua buah bagian yang relatif sama besar dan sama bentuk. Produsen juga merancang produknya dalam ukuran yang relatif kecil. Untuk menghasilkan sebuah alat yang simetr s dan proporsional tentu diperlukan pula perhitungan dan pengukuran yang cermat. Masyarakat tampaknya telah mengenal sistem ukur dan mungkin pula alat untuk mengukur. Bentuk yang paling awal dibuat adalah Beliung Persegi disusul oleh Belincung dan terakhir adalah Beliung Penarah. Masyarakat mempunyai pengetahuan memilih batuan yang cukup baik, meliputi kemampuan menentukan daerah mana yang mengandung bahan baku, bagaimana menambangnya, dan akhimya mengolahnya menjadi barang jadi. Pengetahuan yang telah dimiliki adalah pengetahuan mengenai: lokasi sumber daya alam, penambangan bahan baku, keragaman jenis batuan, tingkat kekerasan batuan, sifat belahan batuan, dan pertumbuhan mineral. Masyarakat telah mampu memproduksi beliung persegi dalam jumlah besar yang tidak hanya digunakan untuk keperluan produsen atau masyarakatnya sendiri, namun juga sebagian disalurkan. Sehingga, sistem ekonomi yang dikenal pada masa neolitik adalah sistem ekonomi pasar bukan lagi ekonomi subsistensi. Selain itu, tergarnbar pula beberapa hal yang terkait dengan kegiatan distribusi, yaitu benda yang didistribusikan, distributor, dan mobilitas masyarakat. Masyarakat kemungkinan menggunakan beliung persegi untuk keperluan praktis khususnya untuk mengolah kayu, baik untuk meratakan pennukaan kayu maupun rnembuat lubang pada kayu. Masyarakat juga menggunakan beliung persegi untuk keperluan nonpraktis terutama untuk keperluan religi, seperti untuk bekal kubur dan benda upacara religi. Kebutuhan masyarakat akan beliung persegi dapat dipenuhi dengan cara memproduksi dan mendistribusikannya. Masyarakat memandang beliung persegi sebagai benda ekonomi yang mempunyai kegunaan dan bersifat langka. Mengingat kegunaannya yang cukup penting dalam beberapa aktivitas bermukim, maka benda ini sangat dibutuhkan. Kebutuhan konsumen akan beliung persegi inilah yang turut mendorong berjalannya proses produksi dan distribusi beliung persegi di Jawa pada masa neolitik. Hal ini semakin menegaskan bahwa masyarakat masa neolitik sudah hidup menetap dan mengorganisir dirinya dengan baik. Pada masa neolitik terdapat dua kompleks yaitu Ngerijangan dan Buni yang masyarakatnya mengembangkan kebudayaan yang berbeda. Masyarakat Kompleks Keblidayaan Ngerijangan mencakup Sims Ngerijangan, Limbasari, Tipar Ponjen, dan Kendeng Lembu. Masyarakat kompleks ini mempakan masyarakat yang berusaha mencukupi kebutuhan hidupnya sndiri dengan mengandalkan sumber daya alamnya. Produksi beliung persegi menjadi strategi subsistensi utama bagi masyarakat. Akan tetapi, ketika kebudayaan alat batu mulai digantikan oleh kebudayaan alat logam, maka kebudayaan masyarakat ini mengalami penurunan. Masyarakat Kompleks Kebudayaan Buni mencakup Situs Buni, Kelapa Dua, Kampung Kramat, Pejaten, Pondok Cina, Pondok Cabe, Condet, Tanjung Barat, Bantarjati, Pasir Angin, Panumbangan, dan Cipari. Masyarakat ini lelah mengembangkan kebudayaan dengan pusat produksi dan hasil produksi yang berbeda-beda yang akhirnya menghasilkan aktivitas pertukaran barang atau perdagangan yang intensitf Aktivitas tersebut membuat kebudayaan masyarakat ini lebih kompleks dan mampu bertahan pada masa kebudayaan logam atau paleometalik. Kebudayaan seperti inilah yang menjadi pondasi bagi terbentuknya kebudayaan masyarakat di Pulau Jawa pada masa sejarah.
Rectangular adze is one prehistoric artifact frequently found in Indonesia. Reports from inhabitants indicate the artifact is widespread throughout Java Island. Archeological studies also found rectangular adzes in many sites, including: (l) Kampung Kramat in East Jakarta, (2) Pcjaten in South Jakarta, (3) Condet in East Jakarta, (4) Tanjung Barat in South Jakarta, (5) Pondok Cabe in Tangerang, (6) Bantarjati in East Jakarta, (7) Pondok Cina in Depok, (8) Kelapa Dua in Depok, (9) Buni in Bekasi, (10) Pasir Angin in Bogor, (ll) Panumbangan in Sukabumi, (12) Cipari in Kuningan, (13) Limbasari in Purbalingga, (14) Tipar Ponjen in Purbalingga, (15) Ngerijangan in Pacitan, and (I6) Kendeng Lembu in Banyuwangi. But one thing that many do not know yet is Neolithic culture in Java Island. T0 further comprehend the culture, an analysis on production, distribution, and consumption of rectangular adze is needed. This study is based on concepts well known to Archaeology and other disciplines, both social and natural sciences. According to Clarke (1978), the analysis should be taken specifically and contextually. Non-destructive specific analysis includes morphological, technological and microwear analysis, taking advantage of a computer program called SPSS (Statistical Program for Social Science). Contextual analysis refers to settlement archeology, which studies rectangular adze, other findings, and environmental data such as geology and gcomorphology of a site. Production, distribution, and consumption are systems where each has their own sub-systems. Production includes: the act of collecting raw materials and tools, the act of processing the raw materials into pre-manufactured rectangular adze, and the act of processing the pre-manufactured rectangular adze into a ready-to-use one. Distribution includes: distribution of raw materials, distribution of pre-manufactured rectangular adze, and distribution of ready-to-use rectangular adze. Consumption includes: practical use, non-practical use, and repair for re-use. Referring to the attributes, a reconstruction of Neolithic society in Java can be made. The society developed new methods in stone tools, i.e. grinding and polishing. Rectangular adze design is anything with a certain symmetrical form which, if it is cut horizontally, it will result in two relatively similar parts in size and in form. lt seems measurement systems and, probably, measuring tools were already known to the society. The society had the knowledge to choose a potential stone. That included the knowledge on where to find the raw materials needed, how to mine the materials, and how to manufacture the materials into a ready-to-use tool. The rectangular adzes were mass produced, not only to be used by the producers or their societies but also to be distributed elsewhere. Thus, market economy, instead of subsistence economy, was the prevailing system in Neolithic period. The society used rectangular adze for practical reasons, especially to work on woods. But the society also used this tool for non-practical reasons, especially religious ones, such as funeral gift and religious ceremonies. The society regarded the rectangular adze as a useful and rare economical tool. Those indicate that a Neolithic society is a settled well-organized one. And it is this culture that becomes the foundation for the development of historic cultures in Java Island.