Skripsi ini, sesuai dengan judulnya, membahas tentang industri musik dalam struktur kapitalisme global, dengan studi atas perkembangan perusahaan rekaman transnasional di Indonesia. Seperti kita ketahui, dunia saat ini konon tengah memasuki suatu era bernama globalisasi. Namun, globalisasi ini acapkali dicurigai sebagai bentuk berkuasanya suatu hegemon, yaitu struktur kapitalisme global. Dalam struktur kapitalisme global, industri adalah hal yang sangat penting. Termasuk pula industri musik. Dalam setiap tata dunia yang sedang berlaku, memang unsur kebudayaan adalah bagian yang penting. Budaya, dalam hal ini musik, menjadi industri tersendiri dalam struktur kapitalisme global, dan ini biasa disebut dengan budaya populer. Fenomena musik populer sejatinya adalah bagian dari industri rekaman lintas batas negara, dengan pemain utamanya adalah perusahaan rekaman yang juga lintas batas negara (transnasional). Perusahaan rekaman transnasional raksasa di dunia adalah Universal Music, Sony Music, BMG, Warner Music, dan EMI. Mereka disebut raksasa anta' a lain karena kekuatan jaringannya di seluruh dunia, jumlah karyawan yang dipekerjakan, dan uang yang berputar di dalamnya. Di Indonesia, industri musik dalam negeri berkembang dengan pesat dari tahun ke tahun. Kondisi industri musik Indonesia ini tak lepas dari tata dunia yang berlaku. Pada tahun 1990-an perekonomian di Indonesia berkembang pesat dan media-media baru pun bennunculan. Lima raksasa industri musik dunia hadir di Indonesia dalam suasana penuh dukungan ini. Perusahaan rekaman transnasional dimungkinkan dapat beroperasi secara penuh setelah Indonesia menggulirkan Peraturan Pemerintah No. 20 pada 1994, tepat setelah Economic Vision Statement Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) 1993 serta rekomendasi Putaran Uruguay mengenai perdagangan bebas pada 1994 digulirkan. Skripsi ini akan menyoroti keberadaan industri musik Indonesia sebagai bagian dalam struktur kapitalisme dunia. Permasalahan yang diangkat adalah mengenai bagaimana perusahaan rekaman transnasional masuk dan kemudian berkembang di Indonesia dalam kurun waktu tahun 1996 sampai dengan 2002. Kerangka pemikiran yang dipakai adalah Transnational Historical Materialism oleh Robert Cox. Pemikiran ini terpengaruh oleh Antonio Gram sci, hanya saja diaplikasikan di level internasional. Setiap usaha hegemonisasi mengakibatkan bersekutunya berbagai macam kekuatan progresif potensial, yang akan bersamaan datang dan membentuk apa yang disebut Gramsci sebagai 'blok historis' (historical bloc). Dalam level internasional, Cox menyatakan bahwa dalam masa berkembangnya internasionalisasi produksi dan pertukaran, sangat mungkin muncul transnational historical bloc. Blok historis ini, baik pada level negara ataupun lintas batas negara, akan menjadi kohesif dengan adanya ideologi hegemoni, atau kerangka berpikir yang memberi identitas dan kepercayaan. Aplikasi Cox terhadap konsep Gramscian menitikberatkan pada kekuatan sosial transnasional (transnational social forces). Tiga kategori forces (kekuatan potensial) yang berinteraksi dalam suatu struktur tersebut adalah: kemampuan material, ide/gagasan, dan institusi/lembaga. Tidak ada salah satu yang paling menentukan diantara ketiga perangkat kekuatan sosial lintas batas negara (transnational of social forces) ini; hubungannya diasuinsikan resiprokal. Temuannya adalah hegemoni ideologi perdagangan bebas ini dibawa masuk oleh tiga perangkat social forces, yaitu kapabilitas material, institusi, dan ide. Dalam kasus Indonesia, institusi internasional yang menekan dengan perdagangan bebasnya adalah APEC dan GATT (yang kemudian melembaga menjadi WTO). Insitusi-institusi internasional tersebutlah yang kemudian turut andil dalam membuat institusi negara, yaitu Indonesia, menyebarkan ideologi perdagangan bebas. Yaitu dengan keluarnya Paraturan Pemerintah No. 20/1994. Peraturan pemerintah itulah yang memungkinkan perusahaan rekaman transnasional — Universal Music, Sony Music, Warner Music, BMG, EMI — beroperasi secara penuh di Indonesia. Perusahaan transnasional adalah salah satu social force claim menyokong struktur kapitalisme global, yaitu dengan kapabilitas material yang begitu besar dimilikinya. Tidak cukup dengan insitusi dan kapabilitas material, suatu blok historis haws juga dipefkuat dengan penyebaran ide. Ide disini adalah bahwa produk budaya yang dibawa kapabilitas material atau perusahaan rekaman tarnsnasional dianggap baik. Itulah mengapa tren musik di Indonesia menjadi padu dengan tren musik internasional. Ditambah pula dengan promosi hak cipta oleh media massa yang semakin memperkuat blok historis ini di Indonesia. Jadi, proses masuk dan berkembangnya perusahaan rekaman transnasional di Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia, lewat industri musik, dapat dikatakan sudah terhegemoni oleh struktur kapitalisme global.