Banyak orang berpendapat bahwa profesi paling tua yang ada dalam masyarakat manusia adalah prostitusi atau pelacuran. Akan tetapi untuk mengungkapkan kapan pelacuran mulai ada dalam masyarakat tidak ada jawaban yang cukup jelas. Pada agama yang yang diakui secara resmi di Indonesia, pelacuran dianggap sebagai suatu penyimpangan tercela dan harus dihindari. Disamping faktor agama, pandangan negatif masyarakat terhadap pelacuran juga dipengaruhi oleh alasan-alasan praktis seperti masalah kesehatan dan kesejeahteraan rumah tangga. Melihat pertimbangan di atas, sudah sewajarnya jika pemerintah berusaha mengurangi, bahkan kalau mungkin melenyapkan pelacuran.
Salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan mendirikan Panti Rehabilitasi untuk para wanita tuna susila. Di dalam panti, mereka menerima bimbingan, pembinaan dan penyuluhan agar dapat kembali ke masyarakat. Namun demikian apakah masyarakat juga akan menerima mereka yang ingin kembali? Pada kenyataannya, kesediaan masyarakat untuk menerima para wanita tuna susila yang ingin kembali inilah yang jarang ditemui. Karakteristik yang pernah dipilih oleh seseorang akan menjadi suatu pola yang dikenali secara khusus. Dan karakteristik sebagai wanita tuna susila akan menjadi suatu faktor yang kelak akan diperhitungkan orang dalam berinteraksi.
Dalam penelitian ini ingin diketahui apakah penolakan dari masyarakat dan pandangan negatif mereka dirasakan pula oleh para wanita tuna susila yang berada dalam pembinaan Panti Rehabilitasi Wanita Mulya Jaya (siswa PRW-MJ). Selain itu ingin diketahui pula seberapa besar intensi mereka untuk berhenti menjadi wanita tuna susila dan apakah persepsi mereka terhadap penolakan lingkungan sosial mempengaruhi intensi mereka untuk berhenti menjadi wanita tuna susila. Hal lain yang juga ingin diketahui melalui penelitian ini adalah, apakah ada perbedaan persepsi siswa PRW MJ terhadap aspek-aspek dalam penolakan lingkungan sosial (aspek keluarga, tetangga dan teman), serta manakah diantara ketiga aspek tersebut yang berpengaruh terhadap intensi mereka untuk berhenti menjadi wanita tuna susila sekeluarnya dari PRW-MJ.
Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah kuesioner yang terdiri dari dua bagian:
1. Kuesioner tentang persepsi siswa PRW-MJ mengenai penolakan lingkungan sosial.
2. Kuesioner tentang intensi siswa PRW-MJ untuk berhenti menjadi wanita tuna susila.
Dari hasil penelitian ini (dengan 34 responden) didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan pada l.o.s 0.05 antara persepsi terhadap penolakan lingkungan sosial dengan intensi siswa untuk berhenti menjadi wanita tuna susila sekeluarnya dari Panti Rehabilitasi Wanita Mulya Jaya. Semakin tinggi skor persepsi responden terhadap penolakan lingkungan sosial, maka intensinya untuk berhenti menjadi WTS akan semakin rendah. Demikian pula sebaliknya.
Hasil lain dari penelitian ini menunjukkan, bahwa siswa PRW-MJ memiliki skor persepsi yang rendah terpenolakan lingkungan sosial, hal ini berarti secara umum mereka tidak merasakan adanya penolakan dari lingkungan sosial terhadap diri mereka. Selanjutnya, penelitian terhadap intensi siswa PRW-MJ untuk berhenti dari pekerjaannya semula sebagai WTS menunjukkan adanya tingkat intensitas yang tinggi.
Dari ketiga aspek yang dipersepsi oleh responden, terlihat bahwa skor persepsi responden terhadap aspek keluarga dan tetangga relatif rendah, sedangkan skor pada aspek teman relatif tinggi. Hal ini berarti secara umum mereka tidak merasakan adanya penolakan baik dari keluarga maupun tetangga terhadap diri mereka. Akan tetapi mereka cenderung merasakan adanya penolakan dari teman. Jika ditilik dari pekerjaan mereka sebelumnya sebagai WTS, dimana untuk memperoleh keberhasilan terkadang mereka harus bersaing dengan teman, dapat dimaklumi bila hubungan mereka dengan teman tidak begitu hangat, dan hal ini tentu mempengaruhi persepsi mereka terhadap aspek teman.
Hasil lain menunjukkan, bahwa aspek persepsi terhadap keluarga merupakan aspek yang paling menentukan (signifikan pada 1.o.s 0.05) dalam hubungannya dengan intensi untuk berhenti menjadi Wanita Tuna Susila. Hal ini dapat dimengerti karena bila seseorang merasa ditolak oleh keluarganya, maka ia akan merasa tak berarti lagi, karena tak dapat dicari pengganti kehangatan seperti dalam keluarga. Tetapi sebaliknya bila keluarga dipersepsi responden tetap akan menerima kehadiran dirinya, tentulah keinginan responden untuk berhenti menjadi WTS akan semakin meningkat.