Berdasarkan penelitian para ahli diketahui bahwa usia tengah baya adalah masa krisis yang penuh tekanan dan sering disamakan dengan gejolak masa pubertas. Bahkan masa krisis ini dapat mengganggu hubungan suami istri, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan. Khusus bagi wanita atau istri usia tengah baya, tampaknya tekanan yang mereka hadapi lebih berat dibandingkan para suami. Selain harus menghadapi penurunan fisik mereka sendiri (dimana hal ini seringkali dipersulit dengan adanya standar ganda terhadap ciri-ciri ketuaan pada pria dan wanita), para istri usia tengah baya juga harus menghadapi rasa kehilangan karena anak-anak sudah mulai remaja (dan juga sedang mengalami masa pubertas) dan mencoba melepaskan diri dari ketergantungan ibunya. Hal ini merupakan tekanan psikologis tersendiri bagi seorang ibu, yang tidak terjadi pada para ayah atau suami. Selain itu, istri usia tengah baya juga disibukkan dengan tanggung jawab mengurus orangtua atau mertua yang mungkin sudah membutuhkan perawatan. Hal ini juga jarang terjadi pada pria, karena aturan sosial menetapkan bahwa tanggung jawab memelihara hubungan kekeluargaan terletak pada istri atau menantu perempuan. Bila seorang istri juga bekerja, dapat dibayangkan beban berlebih yang mereka hadapi yaitu mengatur berbagai peran sekaligus dalam waktu bersamaan. Keadaan penuh tekanan ini dapat menjadi lebih berat bila tidak ada dukungan sosial dari suami dalam menjalani perkawinan. Menurut penelitian, para istri memang lebih sering merasa tertekan dalam perkawinan dibandingkan suami karena mereka lebih sedikit memperoleh dukungan sosial dari pasangannya. Padahal peran dukungan sosial sangat beaar artinya dalam meringankan tekanan-tekanan yang dihadapi dan dapat menghindarkan seseorang dari tekanan yang lebih parah. Untuk itu penelitian dilakukan dalam rangka melihat gambaran persepsi dukungan sosial yang diterima istri dari suami mereka, mencari hubungan antara
persepsi dukungan sosial dan kepuasan perkawinan istri usia tengah baya serta melihat perbedaan persepsi dukungan sosial suami pada istri yang tidak bekerja maupun yang bekerja. Sebagai tambahan, dilihat pula peran komponen persepsi dukungan sosial yang paling berpengaruh terhadap kepuasan perkawinan. Penelitian dilakukan pada istri usia tengah baya yang berusia 40-50 tahun di Jakarta dengan menggunakan teknik accidental sampling. Penulis menyusun sendiri alat untuk mengukur persepsi dukungan sosial suami, sedangkan untuk mengukur kepuasan perkawinan digunakan Dyadic Adjustment Scale dari Spanier. Hasil pengolahan data dengan menggunakan teknik korelasi menemukan hubungan yang signifikan antara persepsi dukungan sosial suami dan kepuasan perkawinan istri
usia tengah baya, namun tidak ada perbedaan persepsi dukungan sosial suami antara istri usia tengah baya yang tidak bekerja maupun yang bekerja. Hasil tambahan menemukan bahwa komponen Intimacy merupakan komponen yang paling berpengaruh terhadap kepuasan perkawinan. Hasil tambahan lain yang memperkuat hasil utama adalah ditemukannya kontribusi persepsi dukungan sosial suami terhadap kepuasan perkawinan istri usia tengah baya yang cukup besar yaitu sebesar 45,3%. Untuk lebih menyempurnakan penelitian selanjutnya, disarankan menggunakan teknik probability sampling atau menambahkan metode wawancara untuk memperoleh hasil yang lebih mendalam. Selain itu, membandingkan subyek pria dan wanita dapat dilakukan untuk lebih membuktikan apakah benar ada perbedaan antara pria dan wanita dalam hal penerimaan dukungan sosial. Masalah istri usia tengah baya dalam menghadapi masa pensiun juga merupakan hal yang menarik untuk diteliti lebih lanjut.