Manusia sebagai mahluk sosial selalu membutuhkan satu sama lain dan dalam menjalin hubungan antar manusia selalu ditemui dinamika. Hubungan-hubungan terbentuk, mengalami perubahan dan bisa berakhir; rangkaian ini dapat menimbulkan penghayatan loneliness yang mungkin teijadi pada setiap tahap kehidupan (Perlman & Peplau, 1982). Apalagi dalam kehidupan modem seperti sekarang ini, muncul pula kecendemngan baru yang ditandai oleh banyaknya peran manusia yang sudah digantikan oleh mesin. Era komputerisasi dan komunikasi global menyebabkan seseorang tidak perlu lagi secara tatap muka bertemu dengan manusia lain untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan hidupnya. Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa loneliness teijadi pada jutaan penduduknya (Cutrona dalam Perlman & Peplau, 1982). Loneliness ]\x%q. dapat membawa akibat yang tidak menyenangkan, bahkan berbahaya seperti alkoholisme, bunuh diri, dan berbagai gejala penyakit (Perlman &Peplau, 1982).
Namun demikian, menurut beberapa ahh, loneliness temyata bisa menimbulkan konsekuensi yang menyenangkan. Moustakas (1972), berpendapat bahwa loneliness membuat seseorang mengalami kesadaran terhadap keberadaan dirinya, melihat potensi diri yang selama ini terselubung dan akhimya bisa memacu kreativitas serta menghasilkan karya-karya yang indah dan artistik. Walaupun loneliness tidak hanya memiliki konsekuensi negatif, loneliness lebih sering dianggap sebagai hal yang buruk dan menghancurkan, sehingga masyarakat pada umumnya merasa bahwa orang yang kesepian harus ditolong sedini mungkin (Moustakas, 1996). Apalagi bila yang mengalami loneliness adalah individu dewasa muda, karena pada masa dewasa muda individu dituntut oleh masyarakat untuk aktif dan produktif. Mereka sehamsnya memiliki hidup yang sibuk, bergairah dan berbaur dengan orang-orang karena tuntutan perkembangan bagi dewasa muda banyak yang berkenaan dengan flingsi menjalin hubungan dengan orang lain (Havighurst dalam Turner & Helms, 1987). Tetapi masa dewasa muda adalah juga masa transisi yang sulit (Erikson dkk., 1950). Salah satu aspek yang penting dalam masa transisi tersebut adalah membangun hubungan sosial dengan sesama dewasa muda (Cutrona dalam Perlman & Peplau, 1982). Adanya tuntutan masyarakat terhadap individu dewasa muda dan tugas perkembangan yang diemban oleh individu dewasa muda, justru menyebabkan mereka rentan terhadap teijadinya penghayatan loneliness (Perlman & Peplau, 1982).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui psikodinatnika dewasa muda dalam menghayati loneliness yang dialami, dengan memperhatikan pada cara mereka menanggulangi penghayatan loneliness itu. Mengingat penelitian ini hendak mengetahui tentang pengalaman dan penghayatan pribadi, maka penelitian dilaksanakan dengan metode studi kasus melalui wawancara mendalam dan analisis kualitatif. Untuk itu peneliti membatasi tingkat pendidikan subyek yang diwawancara, yaitu dewasa muda berusia antara 20-30 tahun yang berpendidikan saijana, dengan asumsi bahwa orang yang pendidikannya cukup tinggi (tingkat SI dan S2) dapat lebih mahir mengeluarkan pendapat dan perasannya secara verbal.
Dari enam orang subyek yang berhasil diwawancarai, peneliti memperoleh hasil bahwa predisposisi penyebab. munculnya loneliness yang paling banyak teijadi pada subyek adalah existential loneliness dan nilai-nilai yang berlaku dalam lingkungan sosial. Hal ini menyebabkan loneliness yang banyak teijadi adalah anxiety loneliness. Fenomena ini teijadi karena subyek harus konform dengan lingkungannya; mereka harus menjalani peran yang disandangnya walaupun mereka tidak mau atau tidak mampu melaksanakannya.
Predisposisi dan loneliness yang dialami oleh semua subyek mempengaruhi coping (penanggulangan) yang dilakukan. Walaupun predisposisi, loneliness dan coping pada setiap subyek berbeda, tetapi semuanya memiliki dinamika yang sama, yaitu adanya hubungan antara predisposisi dan loneliness dengan coping yang dipilih oleh subyek; bila loneliness disebabkan karena teijadinya perubahan hubungan sosial yang dimiliki subyek, maka subyek akan melakukan coping dengan cara mencari hubungan sosial dengan orangorang disekitamya; bila loneliness yang dialami subyek sesuai dengan pendekatan anxiety loneliness maka coping yang dilakukan subyek adalah mencari kesibukan terus-menerus. Hal lain yang cukup menarik dalam penelitian ini adalah kemungkinan pemilihan jenis coping oleh subyek dipengaruhi kematangan subyek; subyek yang lebih matang kepribadiannya (menurut Allport, 1961) cenderung dapat mengatasi loneliness dengan cara yang lebih efektif daripada subyek yang kurang matang.
Melihat hasil yang diperoleh melalui penelitian ini, peneliti berpendapat pengalaman masa kecil sangat berpengaruh terhadap kemampuan subyek melakukan coping terhadap loneliness. Dengan masa kecil yang bahagia, mendapatkan kasih sayang yang cukup dan perhatian yang memadai maka, seseorang diharapkan akan tumbuh menjadi individu yang mampu menghadapi loneliness secara efisien dan mampu menerima loneliness sebagai kenyataan yang tidak mungkin dihindari, serta sekaligus mampu memanfaatkan loneliness sebagai kesempatan untuk semakin mengenal diri sendiri dan mengembangkan potensi yang dimilikinya. Penelitian ini juga dapat dikembangkan lebih lanjut, antara lain dengan meneliti perbedaan antara dewasa muda pria dan wanita dalam cara masing-masing menanggulangi loneliness, atau meneliti dinamika loneliness pada kelompok usia lain.