UI - Skripsi Membership :: Kembali

UI - Skripsi Membership :: Kembali

Belief mahasiswa terhadap fenomena paranormal (Studi deskriptif pada mahasiswa semester dua yang tinggal di Jakarta Selatan dan hubungannya dengan belief orangtua mereka terhadap fenomena paranormal)

Kaniasari; Hanna Djumhana, supervisor; Stevanus Stanislaus Budi Hartono, supervisor ([Publisher not identified] , 1997)

 Abstrak

Dalam masyarakat Indonesia, masalah-rnasalah kegaiban telah lama diyakini dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari (Bastaman, 1995; George, 1995; Kartoatniojo, 1995). Fenomena-fenomena seperti "orang pandai" yang membantu menemukan barang hilang, menyembuhkan penyakit yang tidak berhasil disembuhkan ilmu kedokteran moderen, atau meramal nasib dan kejadian di masa mendatang membuat orang terheran-heran mendengarnya, namun tidak terlalu meragukan kebenarannya, karena tahu bahwa memang ada hal-hal seperti itu yang terjadi dalam masyarakat Indonesia (Noesjirwan, 1992). Untuk selanjutnya dalam penelitian ini, fenomena-fenomena sedemikian disebut sebagai fenomena paranormal.
Di Jakarta khususnya, yang boleh dianggap sebagai miniatur Indonesia, fenomena ini juga tampak jelas. Pertemuan antara berbagai budaya tradisional Indonesia dengan budaya moderen dari negara Barat ternyata tidak menyebabkan fenomena ini luntur begitu saja. Pendidikan moderen serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata masih menyisakan tempat terhadap penghayatan pada hal-hal yang sulit dinalar.
Mengapa orang-orang (Jakarta) dapat "beramai-ramai" mempercayai fenomena paranormal '?. Menurut Danandjaja (1994), di Indonesia, peran masyarakat terhadap pembentukan individu sebagai mahluk individual dan mahluk Sosial boleh dibilang signifikan. Kepercayaan atau keyakinan terhadap fenomena paranormal diteruskan secara turun-temurun. Sampai sekarang masih dilakukan upacara ritual pada kelahiran, kematian atau pernikahan. Sejak dulu, tokoh formal, atau agent yang bertugas menjalankan berbagai ritual dan rnenyampaikan pentingnya mempertahankan berbagai ritual ini adaiah pemuka adat, dukun, ketua suku / marga atau pemimpin upacara adat. Di Jakarta saat ini, boleh dibilang, peran agent tersebut di atas tidak dominan lagi, mungkin karena kemajemukan suku yang ada di dalamnya. Apabila dihubungkan dengan keadaan ini, tentunya pertanyaan yang timbul adalah, jika tidak dari agent ini, dari mana lagi ?. Apakah ada agent selain para pemuka adat, dukun, ketua suku / marga atau pemimpin-pemimpin upacara adat ?.
Menurut Young (1958), Hogg & Abrams (1988), Auerbach (1991) dan George (1995), faktor demografis, ekonomi, orangtua, teman sebaya, guru dan media massa dapat berperan sebagai ?story-teller", maksudnya penyampai tradisi ke generasi berikutnya Apakah tradisi tersebut kemudian akan dianut oleh individu atau tidak, berhubungan dengan pola asuh, pengalaman, tingkat pendidikan, tipe kepribadian dan usia individu.
Selain itu, menurut George (1995), setiap belief, termasuk belief terhadap fenomena paranormal dianut karena dianggap dapat memenuhi kebutuhan individu yang menganutnya. Salah satu kebutuhan manusia yang hakiki adalah untuk memahami dunia dan menjelaskan posisinya dalam alam semesta ini (Young, 1958). Tanpa pemahaman atau kedua hal tersebut, dalam hidupnya, individu akan disorientasi dan tidak berdaya.
Mendukung pernyataan di atas, Schumaker dalam George (1995) menyatakan bahwa kebutuhan akan beiief terhadap fenomena paranormal ini sangat mendasar. Dengan demikian, individu memiliki predisposisi untuk menganutnya. Dalam kehidupannya, individu mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan, seperti kelahiran, kematian, penyakit, kelaparan dan lain-lain , yang rnembuat individu tidak berdaya karena tidak dapat menjelaskan atau memahami fenomena-fenomena tersebut. Oleh karena itu penjelasan dan pemahaman yang ?masuk akal? adalah dengan menyerahkan pengalaman-pengalaman tersebut sebagai hal-hal yang ?tidak masuk akal?.
Sesuai dengan konsep tersebut adalah pandangan Psikologi Transpersonal yang menyatakan bahwa pada setiap individu ada dorongan ke arah transendensi diri dan perkembangan spiritual (Noesjirwan, 1992). Yang dimaksud dengan transendensi diri adalah penghayatan mistis, penghayatan penyatuan diri dengan sesuatu yang Maha Besar, atau sesuatu yang maha Iuas (kesadaran kosmik). Singkatnya, secara teoritis, dengan memang adanya predisposisi Serta dorongan transendensi, maka dapat dimengerti mengapa manusia mempercayai isu-isu yang justru tidak dapat dijelaskan dengan logika / rasio.
Penelitian ini sendiri mencoba menjuruskan permasalahan kepada mahasiswa yang tinggal di Jakarta Selatan tahun pertama, atau pada masa penelitian ini telah duduk di semester dua sebagai subyek penelitian. Menurut (Tumer & Helms, 1987), pada masa ini, pengetahuan, aspirasi dan nilai-nilai tertentu dari mahasiswa seringkali masih arnbigus dan diwarnai oleh pengetahuan, aspirasi dan nilai-nilai orangtua. Padahal, untuk sepenuhnya menjadi bagian dari kehidupan dewasa, mahasiswa perlu belajar untuk menentukan tujuan hidupnya dengan cara lebih banyak mengenai tentang dirinya dan dunia. Di lain pihak, sebagai bagian dari masyarakatnya, mahasiswa agaknya sulit untuk terlepas dari kekerabatan dan konsep-konsep dalam masyarakat yang disampaikan oleh orangtuanya.
Dengan dinamika sedemikian, maka dalam penelitian deskriptif ini, ingin diketahui bagaimana gambaran belief mahasiswa terhadap fenomena paranormal dan apakah ada hubungan antara belief mahasiswa terhadap fenomena paranormal dengan belief orangtuanya. Selain itu, dalam penelitian deskriptif ini, ingin digali pula faktor-faktor lain apa saja yang mungkin berhubungan dengan belief mahasiswa terhadap fenomena paranormal ini.
Untuk menjawab permasalahan penelitian, digunakan Paranormal Belief Scale-Revised (PBS-R) dari Tobacyk (1988). Instrumen ini terdiri dari tujuh dimensi fenomena paranormal, yaitu Traditional Religious Belief Psi, Witchcraft, Superstition, Spiritualism, Extraordinary and Extraterrestrial Life Forms dan Precognition. PBS-R ini telah direkomendasi untuk digunakan dalam penelitian-penelitian mengenai Belief terhadap fenomena paranormal. Alasannya adalah karena instrumen ini memiliki reliabilitas serta validitas yang telah teruji, khususnya untuk penggunaan silang budaya dalam kebudayaan Barat.
Hasil utama penlitian ini menunjukkan gambaran belief mahasiswa terhadap fenomena paranormal. Bagi mahasiswa, ternyata Traditional Religious Belief dan belief terhadap fenomena paranormal adalah dua hal yang berbeda. Artinya, di satu pihak, mahasiswa memiliki belief Ketuhanan yang tinggi, dan di lain pihak, juga sekaligus memiliki belief terhadap fenomena paranormal. Dalam mempercayai fenomena paranormal, mahasiswa juga cenderung mempertanyakan apakah fenomena tersebut dapat dibuktikan secara ilmiah atau tidak. Oleh karena itu dapat dimengerti apabila mahasiswa memiliki belief yang tinggi terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kemampuan manusia menyadari atau mendapatkan informasi dari dunia sekitarnya tanpa menggunakau kelima aindera sensoris yang telah dikenal, misalnya membaca pikiran orang lain. Atau pada kemampuan manusia mempengaruhi orang lain, obyek atau suatu peristiwa di sekitarnya tanpa menggunakan tenaga iisik, seperti kekuatan batin, tenaga dalam, dan sebagainya. Di samping itu, mahasiswa juga cenderung percaya pada hal-hal yang berhubungan dengan santer, sihir atau guna-guna.
Di lain pihak, mahasiswa cenderung tidak percaya pada tahyul, peramalan nasib dan bentuk-bentuk mahluk hidup yang tidak lazim. Dari hasil penelitian bahwa mahasiswa cenderung mempertanyakan bukti ilmiah, paling tidak kemungkinan terjadinya suatu peramalan. Mahasiswa paling kurang percaya pada tahyul, daripada dimensi-dimensi belief terhadap fenomena paranormal yang lain. Begitu pula dengan peramalan nasib. Bagi mahasiswa, nasib atau masa depan lebih berhubungan dengan konsep reliji atau Ketuhanan. Selain itu, mereka menganggap bahwa peramalan nasib tidak lebih dari sekedar rubrik zodiak di majalah-majalah, dalam arti lebih cenderung tidak dapat dipercaya kemungkinan terjadinya.
Hasil lain yang didapat dari penelitian ini adalah mengenai hubungan antara belief mahasiswa terhadap fenomena paranormal dengan belief orangtuanya. Dari hasil penelitian diketahui bahwa memang ada hubungan antara belief mahasiswa dengan belief orangtuanya. Selain itu, ternyata tidak ada perbedaan yang signifkan antara belief mahasiswa dengan belief orangtua secara keseluruhan. Artinya, belief mahasiswa terhadap fenomena paranormal secara umum relatif sama dengan belief orangtuanya.
Walaupun berhubungan, namun dalam hal tahyul, belief mahasiswa berbeda dengan belief orangtua mereka. Dari perbedaan mean antara mahasiswa dan orangtua, dapat dikatakan bahwa mahasiswa lebih tidak percaya pada tahyul daripada orangtua mereka. Hal ini mungkin dapat dijelaskan sebagai berikut. Tampaknya, mahasiswa telah menunjukkan pemikiran-pemikiran yang makin sistimatis dan analitis dalam memahami konsep-konsep gaib, khususnya fenomena paranormal. Di satu sisi, mahasiswa bersikap skeptis, namun di lain pihak ia masih terikat dengan tradisi dan ikatan-ikatan primordial (Poespowardojo, 1993). Suatu kondisi yang sangat khas Indonesia (Koentjaraningrat, 1975:320), di mana hubungan sosial di antara keluarga batih amat erat. Dengan demikian, transmisi budaya dalam keluarga amat intens, tennasuk transmisi sistim belief.
Mengenai faktor-faktor lain yang mungkin berhubungan dengan belief mahasiswa terhadap fenomena paranormal dapat diuraikan sebagai berikut. Faktor-faktor yang tidak berhubungan secara signifikan pada belief mahasiswa terhadap fenomena paranormal dalam penelitian ini adalah : usia, jenis kelamin, asal suku / ras, lama tinggal di Jakarta, latar belakang bidang studi, pengetahuan mahasiswa tentang fenomena paranormal (menurut persepsi mahasiswa yang bersangkutan), urutan kelahiran, serta persepsi orientasi belief terhadap fenomena paranormal pada salah satu orangtua. Faktor yang terakhir dimanifestasikan dengan pertanyaan terbuka dalam kuesioner tentang alasan pemberian set kuesioner kepada ayah atau ibu.
Sedangkan faktor-faktor yang berhubungan antara lain adalah agama. Seperti yang dilcatakan oleh Koentjaraningrat (1995), dalam beberapa kebudayaan Indonesia, ritual agama seringkali bercampur dengan budaya. Hal ini yang mungkin berperan dalam kemungkinan adanya kecenderungan subyek menyetarakan ritual agama dengan kepercayaan rakyat. Sedangkan, faktor yang berhubungan terbalik secara signifikan adalah jumlah saudara sekandung. Artinya, makin sedikit jumlah saudara sekandung yang dimiliki, makin besar kemungkinan subyek memiliki belief yang tinggi terhadap fenomena paranormal.

 File Digital: 1

Shelf
 S2476-Kaniasari.pdf :: Unduh

LOGIN required

 Metadata

Jenis Koleksi : UI - Skripsi Membership
No. Panggil : S2476
Entri utama-Nama orang :
Entri tambahan-Nama orang :
Entri tambahan-Nama badan :
Program Studi :
Subjek :
Penerbitan : [Place of publication not identified]: [Publisher not identified], 1997
Bahasa : ind
Sumber Pengatalogan : LibUI ind rda
Tipe Konten : text
Tipe Media : unmediated ; computer
Tipe Carrier : volume ; online resource
Deskripsi Fisik : vii, 134 pages : illustration ; 28 cm + appendix
Naskah Ringkas :
Lembaga Pemilik : Universitas Indonesia
Lokasi : Perpustakaan UI, Lantai 3
  • Ketersediaan
  • Ulasan
  • Sampul
No. Panggil No. Barkod Ketersediaan
S2476 14-18-689945134 TERSEDIA
Ulasan:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 20286654
Cover