Remaja adalah salah satu tahapan dalam kehidupan yang harus di jalani oleh setiap manusia. Tahapan ini bukanlah masa yang mudah untuk dijalani. Ini merupakan masa yang penting dalam kehidupan. Karena masa ini mempakan masa peralihan dari kanak-kanak menjadi orang dewasa. Segala halyang dibutuhkan oleh seseorang pada masa dewasa, dipelajari dan ditentukan kualitasnya pada masa ini (Stone, 1975). Stanley Hall (dalam Powell 1963) menyebutkan masa ini sebagai masa storm and stress.
Menurut Havighurst (dalam Rice, 1990) salah satu tugas perkembangan remaja adalah mengembangkan kemandirian. Hal ini tidak mudah untuk dilakukan. Karena kemandirian bukanlah sesuatu yang unidimensional melainkan meliputi dimensi-dimensi yang berbeda. Dimensi-dimensi tersebut meliputi dimensi kemandirian dalam bertingkah laku, secara emosi, dan secara kognitif (Sprinthal & Collins, 1995). Dimana kemandirian dalam bertingkah laku berbcntuk fungdi independcn yang aktif dan nyata (Sessa & Steinberg, dalam Collins dan Sprinthall, 1995). Kemandirian secara emosi berupa berkembangnya perasaan individuasi terhadap orang tua dan usaha untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap orang tua untuk kebutuhan dasar (Steinberg & Shverberg dalam Sprinthall & Collins, 1995). Sedangkan kemandirian kognitif berbentuk rasa mampu membuat keputusan tanpa perlu mendapat persetujuan dari orang lain (Sessa & Steinberg dalam Sprinthall & Collins, 1995).
Pada saat perkemibangan remaja ini, orang tua remaja juga mengalami berbagai perkembangan dan prubahan. Orang tua remaja pada umumnya berusia sekitar awal tiga puluhan dan sampai akhir empat puluhan. Masa ini sering dianggap sebagai masa penentuan kehidupan mereka selanjutnya. Pada rentang usia ini seseorang mulai menilai kepuasan perkawinannya, kebahagiaan rumah tangganya, dan perjalanan karirnya. Sehingga masa ini juga merupakan masa yang sulit. Karena selain harus melakukan penyesuaian diri dan perencanaan untuk masa mendatang, orang tua ternyata juga harus berhadapan dengan masalahmasalah seputar anak remajanya.
Pada masa-masa seperti ini, berbagai hal dapat menjadi sumber konflik antara orang tua dan anak remajanya. Salah satunya adalah mengenai kemandirian tersebut. Hal ini dapat dimaklumi mengingat adanya perbedaan pengalaman dan penghayatan antara orang tua dan anak remaja terhadap berbagai hal yang mereka alami. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai konsep kemandirian menurut orang tua dan remaja. Hasil penelidan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap masalah-masalah seputar kemandirian.
Subyek dalam penelitian ini adalah remaja yang berusia 18-20 tahun beserta kedua orang tuanya yang tinggal di Jakarta sebanyak 8 keluarga. Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan pertimbangan bahwa penelitian kualitatif dapat menggali lebih dalam mengenai konsep kemandirian yang dimiliki oleh para subyek. Pemilihan subyek dilakukan secara purposif. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara semi terstruktur di tambah dengan observasi terhadap subyek dan tempat dilakukannya wawancara.
Dari hasil wawancara di temukan bahwa seluruh subyek memiliki pengertian yang sama terhadap kemandirian, namun tingkat pemahaman dan penghayatannya berbeda. Subyek-remaja yang berjenis kelamin perempuan lebih mengembangkan dimensi emosi dan kognitif dari kemandirian. Sedangkan yang berjenis kelamin laku-laki lebih mengembangkan dimensi tingkah laku dan kognitif dari kemandirian. Subyek-bapak lebih mengembangkan dimensi kemandirian kognitif dan ibu mengembangkan dimensi kognitif dan tingkah laku. Diskusi terhadap hasil peneUtian ini dilakukan berdasarkan sudut pandang teori psikologi perkembangan, gender, dan budaya. Sedangkan saran dari penelitian ini adalah agar dilaksanakan penelitian mengenai kemandirian dengan sudut pandang budaya, dan menggunakan metode peneltian gabungan antara pendekatan kualitatif dan kuantitatif.