ABSTRAKDi Indonesia terjadi peningkatan perilaku hubungan seks ekstramarital
(HSE) terutama yang dilakukan pria maupun wanita. Tidaklah dipungkiri wanita
yang sudah menikah dapat saja melakukan HSE dengan pria menikah maupun pria
lajang. Dengan semakin sempitnya waktu yang dimiliki oleh wanita menikah untuk
dirinya sendiri, juga semakin pesatnya jumlah wanita lajang saat ini (BPS, 1990),
maka diperkirakan lebih banyak wanita Iajang yang terlibat affair dengan pria
menikah.
Wanita Iajang menarik untuk diteliti terutama yang berada dalam kelompok
dewasa muda, mengingat pada periode ini seseorang diharapkan sudah menikah
dan membentuk keluarga. Pada periode ini pula timbul kebutuhan akan intimacy.
Terlibatnya wanita lajang dengan pria menikah meperlihatkan adanya
kecenderungan pemenuhan intimacy melalui affair. Keterlibatan wanita lajang
dengan pria menikah menurut penelitian sebelumnya akan berlanjut pada perilaku
HSE jika mereka menikah suatu saat nanti.
Banyak faktor penyebab affair- wanita Iajang dengan pria menikah yang
dikemukakan para ahli, diantaranya ?kesepian? dan ?kesenangan semata?. Wanita
lajang pelaku affair ataupun yang bukan pelaku affair tentunya juga melakukan
penyimpulan terhadap penyebab perilakunya sendiri.
Adanya penyimpulan terhadap penyebab peristiwa atau perilaku diri sendiri
maupun orang lain disebut atribusi kausal. Dengan mengetahui pola atribusi kausal
affair dari subyek pelaku affair, akan dapat membantu pembentukan suatu tingkah
Iaku baru yang positif, mengingat atribusi kausal sangat berkaitan erat dengan sikap
yang merupakan dasar dari tingkah laku seseorang.
Weiner mengajukan model 3 dimensi dalam teori atribusi kausal. Dimensi
tersebut adalah locus, stability dan controllability. Dengan mengetahui dimensi
lokus akan diketahui pula apakah faktor penyebab berkaitan dengan diri pelaku
ataukah berada di luar diri pelaku. Sedang dimensi stabilitas berhubungan dengan
ekspektansi apakah perilaku akan dipertahankan atau tidak di masa mendatang.
Dimensi kontrolabilitas akan memperlihatkan apakah penyebab perilaku berada
dalam kontrol diri atau dalam kontrol orang lain/lingkungan.
Dalam proses atribusi sering terjadi bias, diantaranya adalah actor observer
effect, dimana seseorang akan mengatribusikan kegagalan atau perilaku negatif
dalam penyebab yang eksternal sedangkan perilaku orang lain dalam penyebab
internal.
Penelitian ini dilakukan untuk melihat perbedaan pola atribusi kausal affair
wanita lajang pelaku affair dan bukan pelaku affair. Alat ukur yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Causal Dimension Scale II yang dibuat oleh Russel dan kawan-kawan (1992). Subyek dalam penelitian ini berjumlah 67 orang, yang terdiri
dari 34 pelaku affair dan 33 bukan pelaku affair.
Dari penelitian diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan atribusi kausal
affair pada kedua kelompok subyek penelitian. Kelompok pelaku affair
mengatribusikan perilakunya dalam dimensi yang lebih internal, tidak stabil namun
lebih terkontrol secara personal dibandingkan kelompok bukan pelaku affair.
Dengan demikian baik pelaku rnaupun bukan pelaku, keduanya menganggap bahwa
perilaku affair tidak akan dipertahankan, sedangkan faktor penyebab berada pada
lokus internal atau berkaitan dengan diri pelaku serta dapat dikontrol oleh diri
sendiri.
Sedangkan dalam atribusi kausal tidak melakukan affair antara kedua
kelompok subyek juga terdapat perbedaan dalam dimensi stabilitas, dimana subyek
bukan pelaku mengatribusikan perilakunya ke dalam dimensi internal, stabil, dan
memiliki kontrol personal. Artinya, bukan pelaku affair tetap akan
mempertahankan perilakunya untuk tidak melakukan affair. Pelaku affair
mengatribusikan tidak melakukan affair disebabkan oleh sesuatu yang internal,
tidak stabil tapi juga memiliki kontrol personal. Dengan demikian, pelaku affair
memiliki anggapan bahwa subyek bukan pelaku diperkirakan akan melakukan
affair di masa mendatang.
Tidak ditemukan indikasi bias atribusi bagi pelaku affair dalam
mengatribusikan penyebab perilaku affair seperti yang dikemukakan oleh Jones,
Nisbett dan Watson (dalam Brehm & Kassin, 1993), tetapi terjadi bias atribusi
pada subyek bukan pelaku affair mengingat subyek mengatribusikan perilaku affair
dalam lokus internal atau yang berkaitan dengan diri pelaku. Peneliti melihat
adanya kemungkinan bahwa pelaku affair tidak memandang perilakunya sebagai
hal yang negatif.
Faktor penyebab affair yang paling utama bagi pelaku affair adalah
?menghindari komitmen untuk menjalin hubungan formal?, sedangkan bagi bukan
pelaku lebih memilih, ?menyukai pribadi yang matang'. Faktor penyebab tidak
melakukan affair bagi bukan pelaku maupun pelaku affair lebih disebabkan pada
?kontrol diri yang kuat?.
Pada penelitian lanjutan sebaiknya dilakukan wawancara mendalam,
terutama untuk menggali keterlibatan atau kedekatan emosional pada pasangan
affair, agar kita terhindar dari pandangan bahwa affair terjadi akibat motif-motif
hedonis; seperti alasan ?variasi seks? dan ?kesenangan semata?. Sampel penelitian
juga dapat menggunakan pria lajang yang memiliki affair dengan wanita menikah,
karena adanya perbedaan karakteristik, sehingga penelitian dengan menggunakan
sampel tersebut akan mcnarik untuk dibuat. Adanya ketidaksesuaian hasil
penelitian dengan toeri-teori yang ada merupakan hal yang menarik. Bias yang
terjadi dalam penelitian ini dapat dihindari dengan penelitian lanjutan dengan
sampel yang lebih besar dengan alat yang lebih baik.