ABSTRAKHubungan antara etnis pribumi dan Tionghoa yang seringkali diwamai
konflik menandakan bahwa usaha asimilasi yang dilaksanakan oleh pemerintah
belum memuaskan. Salah satu upaya mempermudah proses asimilasi antara dua
golongan etnis tersebut adalah melalui perkawinan campur. Namun, perbedaan latar
belakang budaya dalam perkawinan campur dapat menimbiilkan konflik bagi
pasangan sehingga diperlukan strategi coping yang tepat untuk mengatasinya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi coping yang digunakan wanita
etnis Tionghoa dalam mengatasi konflik budaya dengan suaminya yang pribumi.
Masaiali-masalah yang mungkin timbul dalam perkawinan campur antara lain,
komunikasi, perbedaan nilai, dan hubungan dengan keluarga (Markoff, dalam Tseng,
McDermott, & Maretzki, 1977). Strategi coping yang dapat digunakan untuk
mengatasi masalah tersebut terbagi dalam kategori problem-focused coping atau
coping terpusat-masalah, emotion-focused coping atau coping terpusat-emosi, dan
gabungan keduanya (Lazarus, Folkman, Schetter, DeLongis, & Gruen, 1986 dalam
Bird & Melville, 1994).
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena memungkinkan
peneliti mendapatkan penghayatan subyek mengenai strategi coping yang digimakan
dalam menyelesaikan terjadinya konflik berlatar belakang budaya dalam perkawinan campur. Pemilihan subyek sebanyak 3 orang menggunakan salah satu pedoman yang
diuraikan oleh Patton (1990), yaitu pemilihan subyek berdasarkan teori atau
berdasarkan konstruk operasional. Pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan metode wawancara dan didukung oleh metode observasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga subyek jarang mengalami konflik
dengan suami mengenai perbedaan budaya. Namun, bila teijadi konflik, ketiga
subyek menggunakan strategi coping yang berbeda untuk mengatasinya. Subyek EN
cenderung menggunakan strategi coping terpusat-masalah, sedangkan subyek LI
lebih cenderung menggunakan coping teipusat-emosi dan mengalah. WL sendiri
menggunakan kedua cara coping tersebut secara bergantian, tidak ada satu
kecenderungan tertentu.
Kurang nampaknya konflik budaya dalam penelitian ini mungkin disebabkan
oleh perbedaan budaya yang tidak terlalu jauh antara subyek dan suaminya, seperti
dalam kasus WL dan IN. Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya dicari pasangan
subyek yang kebudayaannya memang iaub berbeda agar gambaran konflik dan
strategi coping yang digunakan terlihat lebih jelas dan nyata. Berdasarkan analisis
hasil penelitian, disarankan agar pasangan perkawinan campur menggunakan strategi
coping terpusat-masalah untuk mengatasi konflik budaya karena strategi coping ini
membantu pasangan untuk menyelesaikan perbedaan budaya di antara keduanya,
tidak sekadar mengurangi tekanan akibat adanya perbedaan tersebut.