ABSTRAKBerdasarkan data dari Rifka Annisa Women's Crisis Center, ada 51 kasus
kekerasan dalam masa pacaran yang ditangani pada tahun 1998
(Reputrawati, 1999). Kekerasan yang terjadi dapat berbentuk kekerasan
fisik, psikologis, seksual dan ekonomi. Dalam Lemme (1995) dinyatakan
kekerasan dapat mengakibatkan rusaknya mentalitas dan harga diri
korban. selain cedera fisik ringan hingga yang menyebabkan kematian.
Para korban (dan pelaku) menampilkan mekanisme pertahanan sehingga
mereka dapat bertahan, tetapi hal ini menyulitkan mereka untuk keluar
dari hubungan yang abusive tersebut. Sementara Engel (1990)
meyatakan bahwa ada suatu pola destruksi di mana perempuan terus
menerus mengalami kekerasan oleh orang-orang di sekitamya.
Dalam tulisan ilmiah ini, dilakukan penelitian tentang pola-pola destruksi
dalam hubungan pacaran di mana perempuan menjadi korban kekerasan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran dan
pemahaman yang dalam, utuh, dan menyeluruh tentang pola destruksi
pada perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam masa pacaran.
Hal-hal yang akan diteliti (a) bentuk-bentuk destruksi dalam hubungan
masa pacaran di mana perempuan menjadi korban kekerasan; (b)
rasionalisasi korban (pihak perempuan) terhadap bentuk-bentuk destruksi
tersebut; (c) Mekanisme pertahanan yang ditampilkan oleh pelaku (pihak
laki-laki).
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatlf.
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam {in-depth
Interview) dan menggunakan pedoman wawancara. Wawancara dilakukan
terhadap subyek penelitian yaitu perempuan yang pernah mengalami
tindak kekerasan dalam masa pacaran (dan hubungan tersebut sudah
berakhir).
Dari hasil analisa, ditemukan bahwa bentuk destruksi diri dimulai melalui
dominasi (salah satu bentuk kekerasan emosional) pelaku terhadap
korban dengan menggunakan rasionalisasi-rasionalisasi. Korban
menganggapnya sebagai suatu tanda perhatian dan cinta. Dominasi terns
berkembang menjadi kekerasan fisik, seksual maupun ekonomi. Dan
setiap penerimaan korban terhadap kekerasan, menghantarkan korban
pada kekerasan-kekerasan selanjutnya. Hal ini berdampak buruk bagi
harga diri dan mentalitas korban. Untuk menerima kekerasan yang terjadi
pada dirinya korban cenderung menyaiahkan diri. Sementara pelaku
banyak menampilkan mekanisme pertahanan berupa proyeksi untuk
mengurangi perasaan bersalah.
Dari penelitian ini juga ditemukan bahwa korban cenderung memiliki
idealisasi yang distortif terhadap sosok laki-laki pasangannya. Sejarah
kekerasan dalam keluarga mempunyai peranan dalam membentuk
perilaku bertahan korban. Selain itu ditemukan juga adanya
ketidakseimbangan keterbukaan antara korban dan pelaku dalam
hubungan mereka. Keterbukaan korban dimanipulasi oleh pelaku untuk
mendapatkan keinginannya. Di samping itu ternyata interpretasi ajaran
agama juga berperan untuk pembenaran kekerasan dan membantu
korban untuk 'bertahan'. Dukungan sosial juga merupakan faktor yang
penting untuk membantu korban keluar dari hubungan yang diwamai oleh
kekerasan itu.
Peneliti menyarankan agar dilakukan penelitian mengenai mekanisme
pertahanan yang ditampilkan oleh pelaku secara mendalam, sehingga
gambaran pola destruksi dapat diperoleh seutuhnya. Selain itu diperlukan
suatu pola konseling yang menggunakan pendekatan kognitif untuk
menyadarkan korban bahwa ia dapat mengubah kondisi yang dialaminya.