Terminal Penumpang sebagai salah satu jenis pelayanan publik di perkotaan dewasa ini belum mampu menciptakan kualitas yang maksimal. Ciri utama dari tiap terminal yang ada di kota-kota besar, adalah kesemrawutan. Hal ini terkait dengan beragam kendala dalam pengelolannya seperti kekurangan daya tampung, sarana dan prasarana terminal yang kurang memadai, serta ketidakdisiplinan dari para pengemudi kendaraan umum itu sendiri. Dampak nyata dari kesemrawutan ini adalah ketidaknyamanan para pengguna jasa transportasi. Mereka tidak dapat mengakses terminal secara penuh, padahal itu hak mereka sebagai warga kota. Terminal Terpadu Depok sebagai salah satu penyelenggara pelayanan publik melibatkan dua pihak dalam pengelolaan sehari-hari, yaitu pihak formal dan nonformal. Pihak formal yang dimaksud yaitu DLLAJ yang bermitra dengan Organda, Pospol dan DKLH. Sedangkan pihak nonformal yaitu paguyuban-paguyuban yang beranggotakan kelompok-kelompok aktivitas di terminal seperti para supir, kernet, calo, timer, hingga pengamen, pemulung dan pengemis. Kedua pihak ini secara bersama-sama sesuai dengan peran dan aturan mereka masing-masing mengelola terminal. Muncul dan berkembangnya pihak nonformal ini disebabkan karena keterbatasan peraturan yang ada dalam suatu pengelolaan terminal, sehingga berkembanglah otonomi-otonomi yang bersifat relatif yang mampu mengakomodir kebutuhan para kelompok aktivitas di terminal. Selain itu, adanya pemahaman bahwa selain sebagai fasilitas umum, terminal adalah tempat untuk mencari nafkah bagi banyak orang, maka ketika peraturan yang ada tidak mampu mengakomodir kebutuhan masing-masing individu atau kelompok tersebut, peraturan lainlah yang kemudian `disepakati' bersama. Pengelolaan kebersihan lingkungan di TTD merupakan salah satu aspek yang tercantum dalam peraturan suatu penyelenggaraan Terminal Penumpang. Penelitian ini bersifat kualitatif. Dengan demikian penulis akan menggambarkan secara keseluruhan pengelolaan kebersihan yang berlangsung di sana. Wawancara dilakukan peneliti kepada para informan, yaitu para petugas kebersihan yang terdiri atas lakilaki dan perempuan dan pihak dari DKLH. Penelitian ini mengungkapkan bahwa terdapat faktor-faktor yang berpengaruh dalam pelaksanaan kerja di lapangan, yaitu mengenai peraturan yang lemah, pengelolaan yang kurang maksimal serta persepsi para petugas terhadap kegiatan memelihara kebersihan itu sendiri yang terwujud dalam perilaku mereka ketika melaksanakan tugasnya. Perbedaan persepsi antara laki-laki dan perempuan didasarkan pada penilaian yang ada di masyarakat mengenai jender, yaitu peran perempuan dalam urusan domestik dan peran laki-laki dalam bidang publik. Perbedaan persepsi ini kemudian berpengaruh pada perbedaan perilaku yang terwujud pada kualitas kerja yang dihasilkan. Petugas perempuan memiliki kualitas kerja yang lebih baik daripada petugas laki-laki. Hasil sapuan petugas perempuan lebih bersih dan rapih daripada petugas laki-laki. Petugas perempuan mempersepsikan menyapu adalah tugas perempuan di rumah sehari-hari, bukan laki-laki, sehingga perempuan lebih terbiasa. Asosiasi yang melekat pada perempuan yaitu bersifat rapih, tekun dan teliti, semakin membuat petugas laki-laki tertekan dengan status sebagai pesapon yang menurut mereka tidak pantas disandang untuk laki-laki. Dengan demikian, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat mengenai peran laki-laki dan perempuan masih cukup kuat untuk membentuk konstuksi berpikir dan berperilaku, termasuk dalam ruang lingkup pekerjaan.