Akhir-akhir ini sangat banyak kasus korupsi dan money laundering yang sulit dibawa ke proses pengadilan dengan menjatuhkan hukuman berat kepada para pelakunya karena kurang lengkapnya alat-alat bukti yang disajikan termasuk saksi. Di lain pihak, menurut akal sehat tidak mungkin seorang penyelenggara negara memiliki harta kekayaan dalam jumlah besar tanpa ikut melakukan korupsi. Oleh sebab itu, Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus mencoba menerapkan sistem pembuktian terbalik pada kasus dugaan korupsi dan money laundering yang dilakukan oleh Bahasyim Assifie, seorang pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
Sistem pembuktian terbalik memang belum bisa diterapkan di Indonesia pada karena keterbatasan perangkat aturan yang memberi payung hukum dalam penerapannya. Akan tetapi, dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, sistem pembuktian terbalik dapat diterapkan pada dugaan tindak pidana korupsi dan money laundering yang dilakukan oleh Bahasyim Assifie.
Penerapan sistem pembuktian terbalik pada kasus Bahasyim Assifie ini merupakan sejarah dalam penegakan hukum di Indonesia, karena baru pertama sekali diterapkan dalam perkara tindak pidana korupsi dan money laundering. Penerapan sistem pembuktian terbalik dalam persidangan perkara Bahasyim Assifie merupakan kreativitas dari majelis hakim sebagai cerminan integritas moral untuk memberikan putusan yang memenuhi rasa keadilan.
Perkara Bahasyim Assifie pada tanggal 3 Februari 2011 telah divonis dengan pidana penjara 10 tahun dan perampasan harta kekayaan miliknya senilai sekitar Rp. 64 milyar, dan bahkan telah dikuatkan pula oleh Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dengan menambah masa hukuman menjadi 12 tahun penjara. Putusan ini mendapat apresiasi dari publik, dengan harapan bahwa sistem pembuktian terbalik dapat diterapkan pada persidangan tindak pidana korupsi dan money laundering lainnya, karena selain efektif untuk merampas harta kekayaan para pelaku tindak pidana korupsi dan money laundering, sistem pembuktian terbalik juga efektif memberi penjeraan bagi para pelaku dengan putusan pemidanaan badan dengan masa penjara yang cukup lama.
Lately so many cases of corruption and money laundering is difficult to be brought into litigation by imposing severe punishment to the perpetrators because the complete lack of evidence presented, including witnesses. On the other hand, according to common sense is not possible for a state apparatus has a large amount of wealth without being corrupt. Therefore, the Directorate of Criminal Investigation Special Investigator to try to apply the system of proof in cases of alleged corruption and money laundering committed by Bahasyim Assifie, an employee of the Directorate General of Taxation. The system of proof is not yet applicable in Indonesia on due to the limitations set of rules that give legal protection in its application. However, by Act No. 31 of 1999 which was then amended in Law No. 20 Year 2001 on Combating Criminal Acts of Corruption, and Law No. 15 of 2002 as amended in Act No. 25 of 2003 on Crime Money Laundering, the latest by Law Number 8 Year 2010 on the Prevention and Combating Money Laundering, the system of proof can be applied to allegations of corruption and money laundering committed by Bahasyim Assifie. Implementation of the system of proof in this case Bahasyim Assifie is history in law enforcement in Indonesia, because the first one applied in cases of corruption and money laundering. Implementation of the system of proof in court cases Bahasyim Assifie is the creativity of the judges as a reflection of the moral integrity to give a verdict that sense of fairness. Case Bahasyim Assifie on February 3, 2011 has been sentenced to imprisonment for 10 years and confiscation of his property valued at around Rp. 64 billion, and has even been confirmed also by the Jakarta High Court decision to increase the sentence to 12 years in prison. This ruling is received appreciation from the public, with the hope that the system of proof can be applied in the trial of corruption and money laundering others, because in addition to effectively seize the wealth of the perpetrators of corruption and money laundering, an effective system of proof also gives penjeraan for offender with the sentencing decision of the body with the prison long enough.