ABSTRAKTesis ini merupakan kajian terhadap novel Leyla (2006) karangan Feridun
Zaimoglu yang mengaplikasikan teori penggambaran orient dalam orientalisme
serta diaspora untuk menggambarkan posisi Migran Turki di Jerman dan posisi
pengarang. Argumentasi utama tesis ini didasarkan pada relasi antara posisi
pengarang yang berlatar belakang sebagai masyarakat diaspora Turki dengan
karya sastra yang mengangkat persoalan orient dan situasi multikulturalisme di
Jerman. Sebagai pengarang generasi kedua yang dilahirkan di Turki namun besar
dan mendapatkan pengetahuan di Jerman Zaimoglu menjadi subjek dengan
identitas yang hybrid. Dalam Leyla Zaimoglu meminjam cara pandang orientalis
untuk mengonstruksi citra Turki sebagai orient. Hal tersebut terlihat pada berbagai
kritik terhadap tradisi Turki dan pengukuhan stereotip-stereotip. Meskipun
demikian, di saat yang bersamaan pengarang juga menghadirkan penggambaran
Orient yang lain dengan cara mematahkan stereotipe, selain dengan menegaskan
cerita sebagai gambaran generasi pertama masyarakat diaspora Turki di Jerman.
Dengan demikian melalui Leyla Zaimoglu menghadirkan perspektif yang baru
dalam karya sastra masyarakat diaspora generasi kedua yang dapat diterima oleh
publik Jerman. Hal tersebut signifikan sebagai strategi atau dialog antar budaya
yang berkaitan dengan isu multikulturalisme di Jerman
AbstractThis thesis is a study of the novel entitled Leyla (2006) written by Feridun
Zaimoglu, that applies a theory about the portrayal of Orient in orientalism and
diaspora to describe the position of Turkish Migrants in Germany and the position
of the author. The main argument of this thesis is based on the relation between
the position of the author, whose background as a Turkish diasporic, offering a
piece of literature that raises the issue of orient and the situations of
multiculturalism in Germany. As an author from the second generation who was
born in Turkey but raised and gains knowledge in German, Zaimoglu is a subject
to a hybrid identity. In Leyla Zaimoglu borrows Orientalist perspective to
construct the image of Turkey as the orient. This is evident in the criticism of the
inaugural Turkish tradition and stereotypes. Nevertheless, the author also presents
another depiction of the Orient by breaking the stereotypes, and affirms the story
as a portrayal of the first generation of Turkish diasporic in Germany. Thus
through Leyla, Zaimoglu brings new perspectives in the literature of the second
generation diasporic that can be accepted by the German public. This is significant
as a strategy or intercultural dialogue relating to issues of multiculturalism in
Germany