ABSTRAKDewasa ini, dalam masyarakat adat suku Tolaki di Kota Kendari, masih ditemukan pengaruh kesadaran hukum adat dalam penyelesaian delik adat, khususnya dalam delik adat Kesusilaan, baik terhadap hakim ketika menerapkan KUHP di pengadilan, maupun terhadap ketua adat ketika menyelesaikan kasus-kasus delik adat Kesusilaan dengan perdamaian, dan hingga saat ini putusan adat masih ditaati, dihormati, dan dipatuhi oleh anggota masyarakat. Dalam hukum adat suku Tolaki, dikenal adanya penjatuhan sanksi adat ?Peohala? yakni penyelesaian secara adat dengan membayar denda adat kepada korbannya, terhadap seseorang yang melanggar delik adat Kesusilaan, yaitu suatu perbuatan yang dianggap merendahkan martabat, dimana delik adat ini harus dikualifikasikan sejajar dengan Kejahatan Kesusilaan dalam KUHP. Tesis ini membahas mengenai bagaimanakah kedudukan hukum adat Tolaki tersebut, apabila ada suatu perbuatan melanggar hukum adat yang ada padanannya dalam KUHP. Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat yuridis-normatif melalui studi kepustakaan terhadap data sekunder yang terdiri dari: bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Untuk mendukung data sekunder tersebut, dalam penelitian ini juga digunakan data primer yang diperoleh melalui wawancara mendalam dengan narasumber. Hasil penelitian menyarankan bahwa perlu dukungan pengkajian terhadap penghormatan dan pengakuan, terhadap upaya penyelesaian alternatif, atau putusan ketua-ketua adat, dengan penerapan sanksi yang sesuai hukum adat, yang ditaati dan dihormati oleh masyarakat, adanya suatu rumusan hukum yang kuat mengenai pengakuan putusan hukum adat di dalam undang-undang, dan tidak hanya sebatas pada Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1644.K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991, sebab sifat dari Yurisprudensi tidaklah mengikat bagi hakim, karena hakim Indonesia tidak menganut sistem preseden yang terikat dengan keputusan hakim terdahulu, sebagaimana pada hakim-hakim di negara yang menganut sistem Anglo Saxon (common law).
ABSTRACTNow days, the Tolaki ethic group in Kendari still practices their Adat law as the resolution to resolve crimes in their society, especially for decency offences, even when the those offences were decided by the judges, by applying the penal through courts, or resolved with the principles of their own Adat law by the Tolaki society leader, such as ?peohala?. In the Tolaki Adat law, ?peohala? can be describe as a type of punishment for someone who commits decency offences by paying some certain fines to the victim for the causes of lost, where this kind of offence shall be treated the same way as the crimes in the penal code. This tesis discusses the preposition of the Tolaki Adat law comparing with the similar crimes in the penal code. This research uses the juridical-normative methode through documentation study of the secondary data, consisting of the primary legal material, secondary legal material and the tertiary legal material. To support the secondary data, this research also uses the primary data by doing deep interview. The result suggested that the implentation of the Tolaki Adat law should be maintained by legislation acknowledgment, and not only by the recognation of the Indonesian Supreme Court Decision No. 1644.K/Pid/1988 15th May 1991, because in the Indonesian legal system the judges are not attached by the ?stare decisis? principle like in the common law (anglo saxon) countries.