Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967, Kuasa Pertambangan (KP) merupakan bentuk perizinan yang memberikan kewenangan kepada pengusaha untuk melakukan usaha pertambangan, sesuai substansi dari bahan galian golongan a, b atau c. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, perizinan pengusahaan pertambangan pada dasarnya diberikan oleh Pemerintah dan dilaksanakan pengusahaannya oleh Instansi Pemerintah, kecuali untuk bahan galian golongan c yang telah diserahkan kepada pemerintah Daerah ( berdasarkan PP Nomor 32 Tahun 1969 ). Namun setalah berlakunya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, dengan Peraturan Pemerintah Nomor 75 tahun 2001, pengelolaan pertambangan diserahkan kepada Pemerintah Daerah sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan pemberian otonomi daerah. Dengan demikian paradigma pengusahaan pertambangan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 perlu disesuaikan. Namun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 hingga Desember 2008, penyesuaian terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tidak juga tercapai. Sehingga di dalam implementasinya banyak terjadi permasalahan dalam pemberian perizinan pengusahaan pertambangan. Baru pada akhir 2009 disahkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang mengatur sistem perizinan pertambangan dengan bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP). Yang menjadi pertanyaan yuridis disini adalah, apakah dengan nomenklatur izin memang secara materil isinya adalah sebagaimana izin pada umumnya ataukah tergolong dalam konsesi?
Untuk menjawab berbagai permasalahan dalam perizinan pertambangan akan dilakukan penelitian terhadap pengusahaan pertambangan timah di Pulau Bangka. Dipilihnya Pulau Bangka karena potensi timah di Indonesia sangat besar (nomor 2 di dunia), namun praktek-praktek penyimpangan dalam perizinan pengusahaan pertambangan timah banyak terjadi, sehingga sangat mengganggu pemasukan uang negara dari sektor pertambangan timah, karena itulah menarik untuk diteliti.
Tinjauan analisis didasarkan pada teori-teori bidang Hukum Administrasi Negara, khususnya bidang Pemerintahan Daerah dan bidang Perizinan, disamping bidang Hukum Pertambangan itu sendiri. Terkait dengan kewenangan yang dimiliki yang mengalami perubahan seiring dengan berlakunya era otonomi daerah, akan dilihat bagaimana pengaturan oleh Daerah Otonom tentang pengusahaan pertambangan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Dan akan ditinjau bagaimana implementasi perizinan pengusahaan pertambangan di Kabupaten Bangka periode 2000-2008. Serta akan melihat faktor-faktor apa yang menyebabkan banyak terjadinya tambang inkonvensional di pulau Bangka.
Penelitian akan dilakukan dengan menggunakan metodologi penelitian Yuridis Normatif. Jadi data yang dikumpulkan adalah data sekunder (terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tertier). Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara kepada para nara sumber di lapangan, yaitu para pengusaha tambang dan dinas-dinas terkait dengan pemberian perizinan pertambangan. Kesimpulan, di era otonomi pemerintahan daerah kewenangan pemberian perizinan pengusahaan pertambangan berubag dari yang semula bernuansa sentralistik menjadi desentralistik. Dalam implementasinya hal tersebut menyebabkan banyak penafsiran yang keliru, sehingga menyebabkan produk-produk tidak sinkron di berbagai level dan sektor. Dan ini merupakan penyebab utama maraknya tambang inkonvensional, di samping penyebab lainnya, misalnya harga timah yang melonjak. Di balik itu semua tentunya yang menjadi pemicu utama adalah tidak tepatnya penggunaan konsep perizinan yang diadop baik dalam Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 maupun dalam Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara Nomor 4 Tahun 2009. Konsep IUP yang dianut ternyata adalah merupakan konsesi.