ABSTRAKPenelitian ini menjelaskan suatu permasalahan sosial yang ditemukan di era reformasi yaitu bagaimana proses yang terjadi ketika para pihak mulai mempersoalkan pemahaman tentang illegal logging dalam konteks pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia khususnya temuan pada kasus Adelin Lis di Sumatera Utara, seorang pengusaha yang memiliki izin resmi namun dituntut secara pidana di dalam wilayah kerjanya sendiri, karena setelah jatuhnya rezim Orde Baru muncul pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan sistem serta aturan pengelolaan hutan yang selama ini menjadi pedoman bersama dalam bingkai aturan perundangan negara buatan para rimbawan. Dalam merangkai penjelasan berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh maka penelitian ini bertujuan untuk pertama memahami bagaimana para pihak melakukan perang wacana tentang illegal logging sehingga kemudian illegal logging tersebut bisa memiliki definisi ganda yaitu ia merupakan sebuah pelanggaran administratif tapi juga bisa diinterpretasikan sebagai pelanggaran pidana, sehingga untuk itu pulalah penelitian ini kemudian memilih rimbawan dan pihak-pihak lain yang berbeda konsep sebagai subyek kajian. Kedua, kehidupan berbangsa di Indonesia dalam 14 (empat belas) tahun terakhir pasca reformasi diwarnai dengan proses transisi demokratisasi yang memberikan ruang teramat luas bagi kebebasan berekspresi serta masuknya pengaruh global ke dalam segala aspek termasuk sektor kehutanan, pengelolaan sumber daya hutan dan tata aturan pengelolaan hutan yang selama ini menjadi pedomannya. Untuk itu dalam penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bahwa dalam penerapan konsep-konsep wacana yang berideologikan pengaruh global sebagaimana diungkapkan di atas ternyata memiliki muatan persaingan kepentingan yaitu utamanya kepentingan persaingan usaha yang bermotifkan ekonomi. Ketiga, perkembangan spesialisasi ilmu dalam ilmu Antropologi semakin berkembang dan dinamis, salah satunya adalah penggunaan teori analisa diskursus. Analisa diskursus merupakan alternatif yang semakin populer belakangan ini karena mampu menggelar proses argumentatif secara scientific terhadap proses-proses legitimasi kekuasaan metode masa kini yang lebih mengedepankan proses penyebaran informasi melalui media. Asumsi dasar dari perkembangan teori diskursus belakangan ini adalah karena sejarah dan manusia ditentukan oleh adanya knowledge production (pengetahuan yang diproduksi) dan pemahaman atas berbagai hal yang terjadi di dunia yang diinterpretasi secara kolektif (Arts dan Buizer, 2009: hal. 340). Dalam sebuah ?pertarungan? sosial, antropologi mampu menyajikan proses konstruksi para pihak ketika mereka berkompetisi secara holistik, bukan sekedar membuktikan siapa pihak yang menang atau yang kalah. Analisa diskursus menyajikan proses konstruksi argumentatifnya dengan cara yang lebih runut serta rinci. Dalam penelitian ini ingin memperlihatkan bagaimana pentingnya Antropologi terhadap spesialisasi analisa diskursus, dan begitu pula sebaliknya bagaimana pentingnya analisa diskursus terhadap Antropologi secara umum. Keempat atau terakhir, adalah tujuan praktis dalam pembentukan maupun pertarungan wacana persoalan illegal logging ke depan. Penelitian ini ingin menunjukkan bahwa perdebatan serta variasi pemahaman para pihak tentang illegal logging ini sesungguhnya memiliki makna kepedulian masyarakat dunia tentang lingkungan yang lebih besar. Masing-masing pihak memiliki intensi atau niat yang baik yaitu mereka peduli tentang masa depan dunia yang lebih baik sehingga untuk itu dibutuhkan pengelolaan lingkungan khususnya sumber daya hutan yang lebih bertanggung jawab demi kepentingan bersama. Seperti yang telah diungkapkan lebih awal, konsep-konsep yang membentuk tinjauan konseptual dalam penelitian ini adalah konsep analisa wacana dan konsep legitimasi diskursus yang memiliki muatan ideologi neoliberalisme. Adapun pemahaman prinsipiil yang saya mengerti dari kedua konsep tersebut adalah bagaimana memecahkan suatu topik yang kompleks atau substansi menjadi beberapa bagian yang lebih kecil dan detail demi mendapatkan pemahaman yang lebih baik (Arts dan Buizer, 2009: hal. 341), kemudian menjalankan suatu tindakan melalui rangkaian proses yang telah dianggap mantap dan seringkali rutin ketika mencoba mengkonversi suatu pemaknaan dari satu bentuk menjadi bentuk yang lainnya (Sokal dan Bricmont, 1998 dalam Humphreys, 2009: hal. 319), dan memasukkan unsur norma serta nilai dalam kategori relatifisme moral untuk mendalami bagaimana sesungguhnya diskursus tetap diklaim atau dianggap etis oleh kelompok tertentu tanpa perlu memiliki dasar ilmiah sebagaimana lazim dilakukan pada klaim pengetahuan yang bersifat epistemik (Humphreys, 2009: hal.320). Kedua pokok pemahaman atas konsep di atas merupakan kriteria data yang saya butuhkan untuk mempelajari dan memahami analisis wacana dan legitimasi diskursif. Kedua pokok pemahaman di atas pula selanjutnya saya coba untuk kemudian memandu saya dalam merekonstruksi seputar putusan pengadilan kasus Adelin Lis sebagai entry point dalam memasuki ranah dialektika persoalan diskursus tentang illegal logging sehingga benar data yang saya ambil adalah data legitimasi diskursif. Adapun hasil dan kesimpulan penelitian ini adalah pertama, pertarungan diskursus illegal logging yang terjadi adalah antara para pihak yang menggunakan aturan perundangan negara sebagai pedoman dasar penerapan aturan serta pengelolaan sumber daya hutan yaitu memanfaatkan konsep Pembangunan Hutan Produksi Lestari serta metode Tebang Pilih Tanam Indonesia (jalur formal) dengan para pihak yang menggunakan diskursus global sebagai pedoman dasar pengelolaan hutan yaitu penerapan konsep-konsep biodiversity, sustainable development dan governance (jalur non formal). Para pihak yang menggunakan aturan perundangan negara sebagai basis pemahaman pengelolaan hutan berpendapat kalau illegal logging adalah pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan tanpa mengantongi sehelai izinpun, sedangkan para pihak yang menggunakan basis diskursus global melihat siapapun termasuk pemilik izin apabila dianggap ?merusak? maka mereka dikatakan tetap ?liar? dan oleh karenanya tetap dianggap melakukan illegal logging. Kesimpulan kedua, dijelaskan bahwa dalam membangun diskursus illegal logging menggunakan referensi kasus Adelin Lis adalah dengan pertama mencermati, mengulas kembali serta mempelajari berbagai diskusi diskursus yang terjadi seputar proses hukum di ranah peradilan negara dan kedua mencermati, mengulas kembali serta mempelajari diskusi diskursus yang terjadi dalam konteks ditemukannya legitimasi diskursif pada berbagai diskursus yang bermuatan ideologi neoliberalisme yang sangat sarat dengan konsep-konsep globalisasi dan menggunakan moda teknologi informasi masif seperti media elektronik internet blogs yang berdaya jangkau lintas ruang dan waktu. Kedua pihak yang berseteru dapat dikatakan membangun simulacra-simulacra yaitu sesuatu yang berdiri sendiri dan muncul tanpa memiliki konteks sejarah awalnya. Para rimbawan dalam menetapkan kawasan hutan misalnya, banyak ditemukan melakukannya hanya di atas meja tanpa melakukan penelitian lapangan sehingga banyak kawasan hutan yang ditetapkan ternyata tidak berhutan lagi atau sudah berupa perkotaan. Para pihak yang menchallenge rimbawan juga membangun simulacra dalam menyebarkan konsep illegal logging nya seperti para blogger yang bukan berlatar belakang kehutanan namun aktif berkampanye masalah lingkungan hanya berdasarkan referensi informasi digital pula meski selalu memiliki pesan-pesan humanis lingkungan yang dikemas secara rapih didistribusikan dalam media yang menggunakan teknologi informasi masa kini yang sangat masif dan berdaya sebar sangat cepat dalam jumlah yang sangat besar pula dengan biaya sangat murah di internet. Kesimpulan ketiga, adalah dengan menjelaskan kalau relasi serta koalisi para pihak terbentuk setelah mencatat dan merangkum hasil diskusi dari proses diskursus yang diangkat oleh dua pertanyaan penelitian sebelum ini, yaitu koalisi terbentuk sebagai wujud pengejawantahan dari persaingan usaha skala global dimana kedua koalisi adalah para pihak yang ingin memperebutkan akses penguasaan sumber daya hutan untuk tetap dimanfaatkan sebagai usaha berbasiskan kepentingan ekonomi. Koalisi pertama adalah para pihak yang menganggap Adelin Lis sebagai pengusaha resmi memiliki izin sah dan hanya melakukan pelanggaran administratif karena yang didakwakan masih berada dalam wilayah kerja sesuai izinnya, sedangkan koalisi kedua tetap menganggap Adelin Lis melakukan tindak pidana illegal logging karena tetap dianggap merusak hutan yang dikelolanya. Dari perspektif Antropologis dapat disimpulkan akhirnya kalau koalisi pertama adalah pihak yang mempertahankan interest positivis legalistik, sedangkan koalisi kedua adalah pihak yang berpedoman pada interest post-konstruktivis legalistik.
ABSTRACTThis research is about a social problem where certain parties systematically challenging the existing forestry legal system in particular on illegal logging issue raised out of a legitimate and licensed businessman (Adelin Lis) being prosecuted on a case within his own concession in North Sumatera. This problem discovered in the reform era, where there are concerns and dissatisfactions among group of parties towards the existing forestry legal and management system as well as practices. To explain the research problem clearly, the purpose of this research are first, to understand how the discourse battle on illegal logging could end up having at least two definitions; as an administrative or civil case but also as a criminal case. Then the subjects of this research are foresters and parties or inviduals that challenged them. Secondly, there are global content within the concept used by the parties that challenged the existing forestry legal system so the next purpose of the research is to find out how those global content concept that are brought up actually have economic purposes. Thirdly, the expansion of specialization of Anthropology discipline are very dynamic, one of which is discourse analysis. So another purpose of this research is to show how important Anthropology towards discourse analysis specialization, and vice versa how important is discourse analysis towards Anthropology in general. Lastly, would be the practical purpose of this research, that is how variation of illegal logging interpretation is actually an expression of good intentions by all parties involved in this battle, that people of the world are more and more concerns about environment and how forest resources in particular needs to be managed more wisely for the sake of future generations. The two main conceptual framework are discourse analysis and discursive legitimacy which has neoliberalism ideology content (Humphreys, 2009). Understanding both concepts would be the criteria to guide me to search deeply into collecting primary data, reconstructing Adelin Lis court trial and gathering other secondary data on illegal logging by making sure that information I collected are indeed discursive legitimacy material. The research findings are, first, the illegal logging discourse battle is between those using existing forestry legal system such as Sustainable Forest Management (PHPL) and Indonesian Selective Cutting and Planting System (TPTI) that I consider as using formal scheme as their reference base, against those using global concept such as biodiversity, sustainable development and governance (Arts and Buizer, 2009) or using non formal scheme as their reference base, in managing forest resource as well as forest law enforcement. Those using existing forest legal system as reference base strongly describe that illegal logging is strictly for illegal offenders that do not have a single license at all, while the challengers think that illegal loggers are described as for anyone who destroys forest including license holder or concession owner. Second finding is, beside in depth interviews illegal logging discourse constructions in Adelin Lis case are done through two processes, one is reconstructing court trial proceedings, and two is collecting discourses from media in particular electronic blogs. Both parties involved in the battle constructed simulacra. Foresters for example created forest land use mapping out of a simple desktop without going into the field, therefore the reference maps used in the existing forestry legal system can be easily challenged. On the other hand, bloggers that happen to be the challengers do not have any forestry basic knowledge whatsoever, are broadcasting their discourses on webs based only on electronic references collected digitally as well. The digital discourses presented are professionally packaged filled with popular humanistic and green messages. The third or last finding is, new power relation and coalition formed from the whole research proceedings. All parties involved in the battle agreed that the entire discourse of illegal logging have economic purposes. The first coalition describes Adelin Lis, a legitimate licensed businessman, only conducted an administrative offense since the case against him were carried out within the boundary of his concession. While the second coalition describes Adelin Lis conducted a criminal offense, eventhough he is a licensed businessman but he is destroying the forest. In an Anthropological prespective, the first coalition is considered to be the positive-legalist interests, while the second coalition is the post constuctive-legalist interests.