Lumpur pada sludge drying bed Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) Kalimulya Depok dimanfaatkan masyarakat sekitar sebagai penyubur tanah. Padahal, lumpur tersebut belum memenuhi kriteria untuk dijadikan penyubur tanah. Oleh karena itu, diperlukan satu pengolahan untuk memperbaiki kualitas lumpur tersebut. Pengolahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengomposan yang mencampur lumpur dari sludge drying bed dan sampah organik pasar dengan menggunakan metode open windrow. Pengomposan merupakan proses eksotermik yang akan menghasilkan panas dan pengukuran suhu dilakukan selama proses pengomposan berlangsung. Dalam percobaan pengomposan ini, dua perlakuan pengadukan yang berbeda diberikan pada dua buah komposter. Kompos diaduk dengan frekuensi dua dan empat hari. Kualitas yang diteliti dalam penelitian ini adalah Fecal coliform dan Salmonella sp.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengadukan empat hari mampu mencapai suhu hingga 66,40C, sedangkan kompos dengan pengadukan dua hari hanya mencapai suhu 65,20C. Hasil pengukuran jumlah Fecal coliform adalah 23 MPN/gr pada hari ke-15, sedangkan jumlah Salmonella sp adalah <2 MPN/4gr pada hari ke-30. Ketika suhu mencapai suhu termofilik (35-650C), maka jumlahkedua bakteri tersebut akan berkurang. Dengan demikian, pengomposan mampu menurunkan jumlah bakteri Fecal coliform dan Salmonella sp sehingga dapat memenuhi SNI 19-7030-2004 tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik. Namun, terjadi pertumbuhan kembali bakteri dan secara signifikan ditunjukkan dengan jumlah Fecal coliform yang meningkat pada hari ke-30 dan 40, yaitu mencapai 50 MPN/gr dan 300 MPN/gr. Titik maturasi kompos tidak hanya dilihat dari kualitas mikrobiologisnya, tetapi juga dari kestabilan suhu, reduksi volume, bau, warna, dan tekstur kompos. Secara umum, variasi frekuensi pengadukan dua dan empat hari sekali tidak menghasilkan perbedaan yang mencolok. Untuk percobaan pengomposan yang lebih efektif, maka pengadukan yang lebih disarankan adalah frekuensi pengadukan 4 hari.
Sludge that is coming from sludge drying bed in Kalimulya Waste Water Treatment Plant City of Depok was used as soil fertilizer by community nearby. In fact, these sludge do not meet with standard as soil fertilizer and requires other treatment to improve its quality. This research was conducted to treat this sludge by open windrow composting method. This sludge was mixed with organic waste from traditional market. Composting is an exothermic process that is produced heat. The temperature increased due to the heat was measured during process takes place. There are two different turning frequencies performed which are every two and four days. The compost quality parameters that is examined are Fecal coliform and Salmonella sp. SNI No. 19-7030-2004 - Specification of The Domestic Organic Waste Composting was used as a base for compost quality standard. The result shows that four days turning frequency could reach highest temperature at approximately 66.40C. Meanwhile, two days frequency only could reach highest temperature approximately 65.20C. The average number of Fecal coliform at day 15 is approximately 23 MPN/gr and Salmonella sp at day 30 is not more than 2 MPN/4gr. Composting could reduce the number of both bacteria. However, bacterial regrowth occurred and significantly indicated by number of Fecal coliform that increased at day 30 and 40, those are 30 MPN/gand 300 MPN/g. The matured compost is not only seen from its microbial quality, but also temperature, volume reduction, odor, color, and texture stability. In general, the compost quality did not show significant difference between two and four days turning frequency. But, four days turning frequency is preffered for effectivity and keeping temperature high during composting.