Otopsi terhadap korban mati sebagai bagian utama dari
pemeriksaan forensik di Jakarta masih sering ditolak oleh
keluarga korban, walaupun pihak penyidik telah memintanya.
Keluarga korban yang merupakan pemberi keputusan penolakan
ini berciri-ciri sebagian besar pria, berusia antara 30 - 49
tahun, adalah saudara bukan sekandung dari korban,
berpendidikan tamat SMTP atau SMTA , bersuku Jawa, Sunda atau
keturunan Cina dan bekerja sebagai karyawan swasta. Ciri-ciri
korban mati yang ditolak otopsinya pada umumnya adalah
pelajar atau mahasiswa, berusia 10 - 29 tahun, merupakan
golongan menengah ke bawah dengan kasus mati akibat
kecelakaan lalu lintas.
Alasan penolakan otopsi forensik ini sebagian besar
adalah faktor emosi berupa rasa sedih/kasihan (97,22%) dan
pasrah terhadap keadaan (80,56%) serta faktor belum
berpengalaman (merasa asing) karena baru pertama kali
mengurus pencabutan Visum et Repertum (88,89%), pertama kali
salah satu anggota keluarganya mati dengan permintaan harus
diotopsi (83,33%) dan belum pernah melihat jenazah pasca
otopsi (84,72%). Sedangkan faktor agama/kepercayaan dan adat
serta faktor ketidaktahuan kegunaan otopsi forensik dan aspek
medikolegal kasus keluarganya bukan merupakan alasan yang
menonjol dari penolakan otopsi.