Tingginya angka perceraian di daerah-daerah yang penduduknya banyak bekerja sebagai TKI di luar negeri berkorelasi dengan permasalahan pelanggaran hak-hak perempuan dan anak dalam keluarga TKI, yang berkisar pada tidak terpenuhinya kebutuhan perempuan dalam hidup berumah-tangga baik nafkah lahir maupun batin, begitu juga kebutuhan anak-anak akan pengasuhan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Salah satu permasalahan hukum yang sangat menonjol dalam hal ini adalah tidak jelasnya pengaturan mengenai harta perkawinan. Meski tidak populer di tengah-tengah masyarakat Indonesia, lembaga perjanjian perkawinan sebenarnya dikenal baik dalam hukum adat, hukum agama, maupun hukum Negara, dan merupakan alternatif solusi bagi permasalahan hukum tersebut. Kecuali Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), Baik UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak tegas mengatur isi perjanjian perkawinan. Karena itu, perjanjian perkawinan dapat saja mengatur mengenai harta perkawinan, sepanjang tidak melanggar hal-hal yang dilarang. Berbagai hal yang perlu diatur dalam suatu perjanjian perkawinan yang dibuat khusus untuk memenuhi kebutuhan hukum calon mempelai TKI meliputi ketentuan mengenai harta bawaan, pisah harta, bukti kepemilikan atas harta, utang dan pembiayaan keperluan rumah-tangga, termasuk biaya mengasuh dan membesarkan anak sekiranya sampai terjadi perceraian. Agar dapat menjadi solusi hukum yang efektif, perjanjian perkawinan harus disosialisasikan dan difasilitasi oleh institusi-institusi formal pemerintah sebagai inisiator didukung oleh unsur-unsur masyarakat sipil. Dalam hal pelaksanaannya, perlu diadakan dukungan penegakan bertingkat dimulai dari level pemerintahan daerah propinsi maupun kabupaten, sampai pemerintahan desa yang paling dekat dan, karena itu, memahami kebutuhan masyarakat setempat. Pada akhirnya, penegakan terpulang pada level rumah tangga, yaitu keluarga dan kerabat, dan pemimpin informal seperti pemuka agama dan tetua adat.