Surat dakwaan merupakan surat atau akta yang memuat suatu perumusan dari tindak pidana yang dituduhkan, yang sementara dapat disimpulkan dari surat-surat pemeriksaan pendahuluan yang merupakan dasar bagi Hakim untuk melakukan pemeriksaan, yang bila dianggap cukup terbukti, terdakwa dapat dijatuhkan hukuman. Dalam menyusun surat dakwaan, penuntut umum wajib memperhatikan ketentuan Pasal 143 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan bahwa surat dakwaan mempunyai dua syarat yang harus dipenuhinya yaitu syarat formil dan syarat materil.
Dalam Hukum Acara Pidana, Locus Delicti menjadi bagian yang penting dalam Surat Dakwaan karena merupakan bagian dari syarat materil yang harus dipenuhi. Tidak terpenuhinya perumusan locus delicti secara jelas, lengkap dan cermat di dalam surat dakwaan menyebabkan surat dakwaan batal demi hukum (jo. Pasal 143 ayat (3) KUHAP). Bilamana tidak mengalami perubahan sesuai yang diatur dalam Pasal 144 KUHAP surat dakwaan tetap merupakan dasar hukum pemeriksaan di setiap tahapan pengadilan walaupun sampai ke tahap Peninjauan Kembali (PK).
Pada kasus Pollycarpus, permohonan PK yang diajukan oleh kejaksaan, telah mengakibatkan kontroversi, dimana penuntut umum menganulir surat dakwaannya sendiri terkait masalah locus delicti. Locus delicti pada surat dakwaan awal mengalami perbedaan pada memori PK. Perbedaan locus delicti secara otomatis akan menimbulkan akibat-akibat hukum. Memori PK tersebut seolah-olah menjadi surat dakwaan baru yang tidak melalui proses pembuktian.
Pada kesimpulannya telah terjadi beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh aparat hukum dalam menangani kasus Pollycarpus. Lepas dari segala intrik politis, kepentingan dan sorotan dunia yang mewarnai kasus ini hendaknya setiap aparat hukum tetap memegang prinsip-prinsip hukum yang telah diatur dalam perundang-undangan.