Kontroversi yurisdiksi Perdagangan Kontrak Berjangka sudah
berlangsung sejak tahun 2001 yang lalu ketika Bursa Efek
Surabaya (BES) bermaksud memperdagangkan Kontrak Berjangka
Indeks LQ 45. Saat itu Pihak Bursa Berjangka Jakarta (BBJ)
bersikeras kalau masalah Perdagangan Kontrak Berjangka
adalah wewenang mereka. Namun masalah bisa dikatakan selesai
setelah Bapepam memberi izin dan pihak BES sudah
memperdagangkannya. Kenyataannya permasalahan ini tidak
selesai begitu saja, pihak BBJ kemudian Memperdagangkan
Kontrak Berjangka Indeks Luar Negeri (Hang Seng dan Nikkei)
dengan alasan penyaluran dana nasabah ke luar negeri adalah
wewenang dari BBJ. Pokok Permasalahan yang timbul adalah
apakah Kontrak Berjangka Indeks Luar Negeri termasuk dalam
kategori Efek seperti yang dimaksud dalam pasal 1 angka 5 UU
No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal, apakah Bapepam
memiliki kewenangan untuk mengawasi perdagangan instrumen
ini, apakah pengaturan instrumen ini nantinya disamakan
dengan Kontrak Berjangka Indeks LQ 45 dan bagaimana
perlindungan hukum bagi investor yang melakukan transaksi
atas instrumen ini. Permasalahan yang berkelanjutan seperti
ini merupakan hal yang menarik untuk dijadikan topik
penelitian. Sebab berdasarkan pasal 5 huruf p UU No. 5 tahun
1995 tentang Pasar Modal, Bapepam memiliki kewenangan untuk
menentukan instrumen lain sebagai Efek. Bapepam mengeluarkan
KEP No. 07/PM/2003 Tentang Penetapan Kontrak Berjangka atas
Indeks Efek sebagai Efek dan dilanjutkan dengan keluarnya
KEP-39/PM/2003 tentang Kontrak Berjangka dan Opsi atas Efek
atau Indeks Efek, yang memberikan kewenangan kepada Bapepam
untuk melakukan pengawasan dan pembinaan dalam proses
perdagangan Kontrak Berjangka Indeks Efek di Pasar Modal
Indonesia.