Pengembangan sistem perbankan syariah sebagai wujud
“dual banking system” di Indonesia merupakan sesuatu yang
tak terhindarkan. Perbankan syariah sebagai suatu lembaga
keuangan merupakan bank yang menyalurkan pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah, di antaranya murabahah.
Murabahah merupakan transaksi penjualan barang dengan
menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang
disepakati antara bank dan nasabah. Pada umumnya murabahah
menguasai sebagian besar dari total pembiayaan yang
disalurkan bank syariah. Permasalahan kemudian muncul
setelah keluarnya Surat Dirjen Pajak No. S-243/PJ.53/2003
dan Surat No. S-1071/PJ.53/2003 pada pertengahan tahun 2003
lalu yang isinya menjelaskan bahwa transaksi murabahah pada
perbankan syariah merupakan obyek PPN. Permasalahan ini
juga dialami oleh Bank Internasional Indonesia (BII)
Syariah yang berdiri pada tanggal 23 Mei 2003. BII Syariah
menyalurkan murabahah lebih dari 50% dari total pembiayaan
yang disalurkan. Berdasarkan studi kepustakaan yang
didukung dengan wawancara dengan pihak terkait, dapat
disimpulkan bahwa transaksi murabahah merupakan obyek PPN
karena terdapat proses jual beli yang menimbulkan adanya
penyerahan BKP yang merupakan obyek PPN. Terdapat perbedaan
pendapat antara pihak BII Syariah dan pihak Dirjen Pajak
mengenai permasalahan ini. Perbedaan tersebut terjadi
karena ada perbedaan penafsiran terhadap undang-undang
perbankan dan undang-undang perpajakan. Pemerintah harus
menanggapi permasalahan ini dengan secepatnya melakukan
harmonisasi terhadap undang-undang yang saling berkaitan
satu sama lain. Dengan demikian, perbedaan penafsiran
antara pihak-pihak yang terkait dapat dihindarkan sehingga tercipta kepastian hukum mengenai permasalahan ini.