Terorisme adalah suatu konsep kejahatan yang telah dikenal dalam hukum internasional sejak 1937. Walaupun demikian, perhatian masyarakat internasional untuk mencegah dan menanggulanginya baru tampak secara signifikan pada akhir abad ke-20. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya frekuensi serangan teroris secara tajam di berbagai belahan dunia, yang merenggut korban jiwa yang tidak sedikit dan menimbulkan akibat-akibat yang luar biasa terhadap aspek politik, sosial, dan ekonomi suatu negara. Kekejaman teroris yang ditunjukkan oleh fakta bahwa korban ditargetkan secara acak (indiscriminate attack) membuat negara negara semakin menegaskan komitmen mereka untuk memberantas terorisme. Namun dalam praktiknya, pencegahan dan penanggulangan terorisme dalam hukum internasional masih menemui beberapa kendala yang berkaitan dengan apakah: (1) masyarakat internasional telah mengkriminalisasi terorisme secara universal, (2) hukum internasional dapat menjangkau pelaku terorisme di luar batas-batas teritorial negara, dan (3) hukum internasional dapat menjangkau pelaku terorisme di luar batas waktu. Pemikiran ini menimbulkan pertanyaan apakah terorisme telah dikualifikasi sebagai kejahatan internasional dalam hukum internasional, dengan memperhatikan apakah: (1) terorisme telah diterima sebagai kejahatan internasional dalam hukum perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan internasional, (2) pelaku terorisme dapat diadili berdasarkan yurisdiksi universal, dan (3) pelaku terorisme dapat diadili berdasarkan asas retroaktif. Baik pandangan yang mendukung dan menentang kualifikasi terorisme sebagai kejahatan internasional sama-sama memiliki landasan hukum yang kuat. Oleh karena itu, di dalam penulisan ini, pandangan-pandangan tersebut diuraikan secara mendalam, termasuk pandangan Indonesia menurut ketentuan hukum yang berlaku dan aplikasinya oleh pengadilan nasional.