Usaha dengan sistem waralaba sudah mempunyai pengaturan
sendiri dengan ditetapkannya PP No. 16 Tahun 1997 tentang
Waralaba dan Keputusan Menteri Perdagangan No.12 MDAG/
PER/3/2006 tentang Pengaturan dan Prosedur Penerbitan
Registrasi Identitas dari Waralaba. Di samping peraturan
yang ada tersebut, isi dari perjanjian waralaba yang dibuat
oleh franchisor selaku pemberi waralaba dan franchisee
selaku penerima waralaba, diatur berdasarkan kesepakatan
kedua belah pihak. Hal tersebut, memberikan peluang lahirnya
konsep Mitra Laba sebagai pengembangan dari waralaba
konvensional dengan mengedepankan prinsip syariah dalam
wujud mudharabah muqayaddah kewajiban yang harus dipenuhi
oleh Penerima Waralaba (franchisee) sebagai kompensasi
kepada Pemberi Waralaba (franchisor). Pokok masalah yang
dihadapi adalah mengenai Bagaimanakah pengaturan mengenai
waralaba dalam Peraturan Pemerintah No.16 Tahun 1997 dan
Keputusan Menteri Perdagangan No.12 M-DAG/PER/3/2006 ?,
Apakah yang menjadi dasar hukum bagi perubahan dari konsep
waralaba menjadi konsep mitra laba? dan Apakah keunggulan
dan kelemahan dari konsep mitralaba bila dibandingkan dengan
konsep waralaba konvensional. Pokok permasalahan tersebut
dijawab dengan menggunakan metode penelitian normatif yang
menghasilkan kesimpulan bahwa PP No. 16 Tahun 1997 dan
Kepmendag No.12 M-DAG/PER/3/2006 lebih mengatur mengenai
teknis operasional usaha waralaba dimana pengaturan mengenai
pengembangan waralaba sendiri masih melihat kepada Buku III
KUHPerdata, dan bahwa keunggulan utama Mitra Laba atas
Waralaba adalah Mitra Laba lebih adil karena pembagian hasil
untuk semua pelaku (share holder) didasarkan atas keuntungan
bersih, sementara kelemahan utamanya adalah Konsep Mitra
Laba merupakan konsep Perjanjian baru yang masih perlu
diatur lebih lanjut hak dan kewajiban dari masing-masing
pihak. (WNM)