Pengayaan uranium sebagai teknologi nuklir
berpotensi untuk senjata nuklir. Masyarakat internasional
menyadari hal ini sehingga dibentuk International Atomic
Energy Agency (IAEA) 1957 dan Treaty on the Non-
Proliferation of Nuclear Weapon (NPT) 1968. Bagi negara
peserta NPT dengan status Non-Nuclear Weapon State (NNWS)
wajib menerima pengawasan IAEA atas pemanfaatan energi
nuklir berdasarkan Pasal IV jo III NPT. Pengayaan uranium
Iran menjadi perhatian utama, setelah USA menuduh Iran
diam-diam membuat senjata nuklir dengan teknologi
pengayaan di Natanz dan Arak. Namun, IAEA tidak menemukan
bukti Iran membuat senjata nuklir. Pelanggaran Iran
terkait prosedural Pasal III ayat (1) NPT. Dengan
kegagalan perundingan antara Inggris, Perancis, dan
Jerman (UE-3) dengan Iran, UE-3 mendukung USA membawa
kasus Iran ke Dewan Keamanan PBB. Dewan Keamanan PBB pun
menjatuhkan sanksi agar Iran menangguhkan pengayaan
uranium. Iran menyatakan IAEA tidak mempunyai kewenangan
melaporkan dan meminta penangguhan pengayaan uranium, dan
Dewan Keamanan PBB tidak dapat menghapuskan haknya dalam
NPT. Skripsi ini meninjau bagaimana kewenangan IAEA dan
Dewan Keamanan PBB berdasarkan Anggaran Dasarnya
menyelesaikan kasus Iran. Ditemukan keputusan yang telah
diadopsi Dewan Gubenur IAEA dan Dewan Keamanan PBB diluar
kewenangan hukum dalam Anggaran Dasar. Lebih jauh,
keputusan diatas dipengaruhi kepentingan negara besar,
sebagaimana terlihat dalam proposal Cina, Perancis,
Rusia, Inggris, USA dan Jerman (P5+1) yang meminta Iran
menangguhkan pengayaan uranium dan sebagai gantinya
menerima bahan nuklir 5 tahun. Permintaan ini
bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) Piagam PBB yang
mengakui prinsip persamaan derajat antar negara.