ABSTRAKSustainable financing atau pembiayaan berkelanjutan untuk kawasan konservasi telah menjadi bahan perdebatan bagi para ahli konservasi. Sebagian besar kawasan konservasi termasuk taman nasional, dalam pengelolaannya didanai oleh pemerintah. Namun, tren global saat ini menunjukkan kondisi yang berlawanan dimana meningkatnya jumlah taman nasional dihadapkan pada dana pemerintah yang terbatas, serta menurunnya pendanaan eksternal. Menyadari hal tersebut, pemerintah Indonesia mendorong taman nasional untuk memiliki pendanaan mandiri melalui penetapan 21 taman nasional model pada tahun 2006.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme pendanaan untuk konservasi taman nasional di Indonesia, dan melihat peluang untuk mengembangkan pendanaan mandiri bagi taman nasional tersebut. Study yang lebih mendalam di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dilakukan untuk mencari kemungkinan kekurangan anggaran, dan efektivitas serta efisiensi dalam penggunaan dana konservasi. Studi ini menggunakan data dari sumber resmi, dan dianalisis melalui pendekatan kuantitatif dengan teknik Exploratory Data Analysis (EDA).
Hasil studi ini menunjukkan bahwa dengan meningkatnya jumlah taman nasional, pemerintah Indonesia tidak serta merta menurunkan besarnya pendanaan. Namun, proporsi dana yang dialokasikan untuk taman nasional terhadap GDP, serta terhadap total belanja negara relatif rendah. Data dari TNGHS menunjukkan adanya kekurangan anggaran, dan adanya penggunaan dana yang tidak tepat waktu yang dapat menyebabkan in-efektivitas dan in-efisiensi dalam penggunaan dana. Meskipun demikian, inisiatif di tingkat lokal seperti komitmen untuk melakukan kerjasama program atau partnership, penyusunan rencana bisnis dan mekanisme pendanaan yang jelas dalam skema trust fund melalui lembaga independen dan terpercaya dapat membantu menyelesaikan beban keuangan di taman nasional.
ABSTRACTSustainable financing for protected areas (PAs) has currently become the subject of debates. Most of PAs including national parks (NPs) were financed by the governments. Nevertheless, current global trends contrast the increasing number of NPs with the limited government budget as well as the decreasing trend of external funds. Realizing such issue, Indonesian government promoted NPs to be self-financed through designation of 21 NP models in 2006.
This paper aimed to look at the financing mechanism for conservation of NPs in Indonesia, and see the potentials to support for self-financing. A more focus study in GHSNP is also discussed to look at the likely budget shortfall, and the effectiveness and efficiency use of the funds. The study uses a set of secondary data from official sources, and chooses Exploratory Data Analysis (EDA) technique as a quantitative approach to reveal the data.
The results indicate that by increasing the number of parks, Indonesian government does not necessarily lessen the budget support. However, the proportion of budget allocated for NPs to GDP and to total government expenditure is relatively low. There were budget shortfalls in GHSNP, and it is not allocated in timely manner, which somehow led to ineffective and inefficiency use of the funds. Even so, local initiatives such as commitment to cooperation programs or partnerships, creating a business plan and a clear financing mechanism through an independent and trustworthy institution, seem help to solve the financial burden.