ABSTRAKPasca kejatuhan rezim orde baru, pendapat bahwa hanya ada satu media yang menjadi relung publik untuk saluran mengartikulasikan identitas tidak lagi relevan. Dalam konteks masa ini, individu/kelompok memiliki kekuasaan dan otoritas untuk mempublikasikan dan mengartikulasikan aspirasi politik dan kultural melalui aneka saluran dan dengan beragam narasi. Gejala tersebut berperan dalam kemunculan ragam relung publik yang terbangun dari mode partisipasi politik baru pasca orde. Tulisan ini hendak menganalisis konsekuensi keragaman narasi dan berbagai saluran media tersebut terhadap kelompok keagamaan di kota besar di Indonesia yang ternyata menciptakan relung publik sendiri berbasiskan interpretasi dan praktik politik mereka sendiri, yang dalam konteks kontemporer menggunakan sejarah narasi mengenai Ummat, gejala kontemporer dari kewarganegaraan, dan kebudayaan popular. Mengambil kasus dari kemunculan gerakan keagamaan popular #IndonesiaTanpaJIL, yang hadir melalui media sosial (twitter, facebook, dan Youtube) oleh kalangan aktivis tarbiyah, beberapa seniman kelas menengah, dan wiraswastawan di Jakarta dan Bandung, tesis ini hendak mengulas bagaimana gerakan ini secara kreatif memainkan dan mempertahankan narasi mengenai ummat yang dikemukakan kelompok Islam revivalis dengan isu kewarganegaraan dan kebangsaan melalui materi kebudayaan popular perkotaan yang berorientasi pasar. Apropriasi narasi tersebut telah menciptakan ideology keagamaan dan kesalehan disebarkan melalui modalitas dan mode sirkulasi dari komoditi kebudayaan popular. Dengan melakukan hal tersebut, mereka menciptakan relung publik mereka sendiri melalui kontradiksi-kontradiksi berbagai narasi dan posisi identitas tersebut. Fenomena ini menunjukan bagaimana subjek keagamaan dihadirkan dalam bentuk sekular kebudayaan popular di perkotaan, dan melaluinya mereka melakukan politik penciptaan publik diantara berbagai relung publik keagamaan di Indonesia.
ABSTRACTIn the aftermath of Indonesia New Order regime, the notions of single media public sphere as the only channel of identity articulation became irrelevant since every individuals/groups has authority to publish and articulate their political and cultural aspiration in diverse historical discourses and through a more diverse and egalitarian media technology (internet and social media). This writing try to explain how those multiple public sphere, influenced by socio-political changes and media technology revolution, have influenced certain religious groups in major cities of Indonesia to articulate particular practice of citizenship and religious identity in urban context. This research had shown how certain religious group that based on social media interaction had create their own public sphere based on their own interpretation of Islamic religiosity, citizenship, and popular culture. Taking case on the emerging popular-religious movement of #IndonesiatanpaJIL, that were arise from social media sites (Twitter, Facebook, and Youtube) by political Islam activist, middle class artist, and entrepreneur from urban Jakarta and Bandung, this thesis examined how this movement is creatively playing Islamic discourse and the notions of nationalism/citizenship through Indonesian urban pop culture materiality and market oriented public spaces. The appropriation of religiosity, citizenship, popular culture discourse, and its materiality has creating religious ideology and piety that spread trough popular culture material modality and modes of circulation. These phenomena had shown how religious subject articulate faith and piety in secular form of popular culture in urban Indonesia, and by doing so produce their own public in examining the changing context of religious-political life in Indonesia.