Sukaraja merupakan desa yang penduduknya terdiri dari berbagai suku bangsa antara lain suku bangsa Sunda dan suku bangsa Lampung. Dua suku bangsa tersebut merupakan suku bangsa terbesar di desa Sukaraja. Suku bangsa Lampung dan suku bangsa Sunda hidup berdampingan dan saling mempengaruhi kebudayaan satu sama lain. Hal ini terlihat pada penggunaan bahasa Lampung disana yang tersisipi oleh penegas kata (fatis) atuh, jing, dan geh. Ketiga fatis tersebut berasal dari bahasa Sunda. Bahasa Lampung tersisipi ketiga fatis tersebut karena adanya interaksi yang terjadi antar suku bangsa Lampung dan suku bangsa Sunda setiap harinya.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif. Teknik penelitian yang digunakan yaitu pengamatan terlibat dan wawancara mendalam. Hal ini digunakan untuk mengetahui mengapa bahasa Lampung di desa Sukaraja tersisipi oleh fatis dari bahasa Sunda. Kajian pustaka dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam memahami fatis dan fungsi dari fatis itu sendiri serta membantu peneliti memahami mengapa fatis bahasa Sunda dapat menyisipi bahasa Lampung. Selain itu, peneliti juga mempresentasekan jumlah fatis atuh, jing, dan geh yang muncul dalam bahasa Lampung.
Penelitian ini mengkategorikan informan menjadi dua kriteria yaitu informan kunci (key informan) dan informan pendukung. Informan kunci terdiri dari tiga orang. Ketiganya menggunakan nama asli atau peneliti tidak menggunakan nama samaran. Sedangkan informan pendukung adalah beberapa masyarakat suku bangsa Lampung yang tinggal di desa Sukaraja.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa fatis atuh, jing, dan geh dapat menyisipi bahasa Lampung karena pengucapan ketiga fatis tersebut sesuai dengan sumber bunyi dalam bahasa Lampung. Ketiga fatis tersebut juga memiliki fungsinya sendiri. Tiap-tiap fatis memiliki fungsi yang berbeda dari fatis-fatis yang ada dalam bahasa Lampung. Selain itu, faktor kebiasaan juga membuat fatis atuh, jing, dan geh menjadi lazim digunakan di desa Sukaraja.
Kerukunan antar suku bangsa yang terjadi di desa Sukaraja juga membuat masyarakat suku bangsa Lampung dapat menerima dengan baik keberadaan fatis atuh, jing, dan geh dalam bahasa Lampung. Keberadaan ketiga fatis tersebut dalam bahasa Lampung telah disadari oleh suku bangsa Lampung dan membuat mereka merasa semakin kaya dalam berbahasa.
Talbot is a village made up of various ethnic groups such as ethnic and tribal Sundanese Lampung. The two tribes are the largest ethnic group in the village of Talbot. Lampung tribes and ethnic groups coexist and Sundanese culture mutually influence each other. This is seen in the use of language by the Lampung there are shells confirmation word (phatic) atuh, jing, and geh. Phatic third comes from the language. Phatic three shells Lampung language, because of the interaction between Lampung tribes and tribal Sundanese every day.The approach used in this study is a qualitative approach and quantitative approach. Research techniques used were participant observation and in-depth interviews. It is used to determine why the language of Lampung in Talbot village by the shells of phatic language. Literature review conducted to facilitate researchers in understanding the function of phatic phatic and themselves and to help researchers understand why phatic Sundanese language can menyisipi Lampung. In addition, the researchers also mempresentasekan number phatic atuh, jing, and geh which appeared in Lampung.This study categorizes the informant to two criteria: the key informants (key informants) and supporting informants. Key informants consisted of three people. All three use real names or the researchers did not use a pseudonym.While informants are supporting some ethnic communities living in rural Lampung Talbot.Based on the survey results revealed that phatic atuh, jing, and can geh menyisipi third language pronunciation phatic Lampung because according to the source of sound in the language of Lampung. Phatic Third also has its own function. Phatic each having different functions of phatic-phatic that exist in Lampung. In addition, the habit also makes phatic atuh, jing, and geh became prevalent in rural Talbot.Harmony among ethnic groups occurred in the village of Talbot also made Lampung ethnic communities may welcome the presence of phatic atuh, jing, and geh in Lampung language. The existence of the third phatic language has been recognized by the Lampung Lampung tribe and make them feel even richer in the language.